HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Bahasa Pesisir Aceh Singkil Berada di Ujung Senja

May 16, 2025 18:13
IMG-20250516-WA0071

Oleh: Sadri Ondang Jaya

HATIPENA.COM – Di barat daya Aceh, di tanah yang disapa sebagai Nagari Syekh Abdurrauf, hidup sehelai warisan yang nyaris lusuh dimakan zaman: Bahasa Pesisir Aceh Singkil. Sebuah bahasa yang lahir dari percampuran budaya, mengalir dari lisan para pelaut, transmigran, hingga pekerja HPH dan perkebunan sawit yang datang bergelombang ke kabupaten ini sejak puluhan tahun silam.

Aceh Singkil tak sekadar titik di peta. Ia adalah simpul pertemuan beragam suku dan bahasa. Ada dari Aceh Selatan hingga Samosir, dari Gayo hingga Nias, dari Pakpak hingga Minangkabau. Di sini, bahasa seperti “apo”, “siapo”, “ka mano”, dan “di mano” tak hanya terdengar di pasar atau dapur, tapi juga menggema di hati mereka yang menggenggam identitas lokal dengan tenang dan dalam.

Namun zaman terus berjalan, dan bahasa, sebagaimana makhluk hidup, punya daur: lahir, tumbuh, redup, lalu punah. Bahasa Pesisir Aceh Singkil kini berada di tepi senja. Di luar lima kecamatan pesisir seperti Pulau Banyak, Pulau Banyak Barat, Kuala Baru, Singkil, dan Singkil Utara, bahasa ini mulai jarang terdengar. Ia seperti bau tanah basah yang makin pudar di tengah hujan modernisasi.

Tapi segelintir anak muda tak tinggal diam. Mereka bukan budayawan bersarung atau akademikus berkacamata tebal. Mereka adalah Baizar Zulmi, Eva Rina Wati, Susanto, Annisa Fatimahtuzzahra, Sarida Yanti, Bayu, Hendra Syahputra, Ezha Rinaldi, Herlin dan satu nama penggerak: Sadri Ondang Jaya.

Berbekal semangat dan cinta pada tanah kelahiran, kelompok ini menyusuri kampung demi kampung, menghimpun kosa kata yang nyaris tenggelam. Mereka merekam cerita, menggali asal-usul idiom, dan menyusun kamus Bahasa Pesisir yang kini telah berisi lebih dari 2.500 kosakata dari 5000 kosakata yang direncanakan. Tak cukup sampai di situ, mereka juga menulis tujuh buku cerita anak, semuanya dalam bahasa ibu.

“Kami ingin anak-anak mencintai bahasa ini sejak kecil, dari cerita sebelum tidur, bukan dari buku sejarah,” kata Annisa Fatimahtuzzahra, koordinator lapangan dan alumnus hukum Universitas Syiah Kuala.

Proyek ambisius ini tak berdiri sendiri. Di belakang layar, Yayasan Suluh Insan Lestari, sebuah lembaga nirlaba berbasis di Jakarta. Mereka memberikan dukungan penuh.

Melalui lokakarya dan bimbingan teknis, komunitas ini dilatih untuk menyusun ortografi atau sistem penulisan baku. Sebuah lompatan penting bagi bahasa yang selama ini hanya tumbuh secara lisan.

Dan supaya anak-anak makin dekat, mereka meluncurkan lomba bercerita Bahasa Pesisir di TikTok. Pesertanya murid-murid SD dari kelas 1 sampai 6. Layar ponsel kini menjadi panggung baru bagi bahasa yang dulu hanya bergema di ruang tamu kayu.

Dani Ella dari Yayasan Suluh Insan Lestari mengungkapkan, buku cerita dan kamus itu kini dalam tahap penyuntingan. Peluncurannya direncanakan Juli 2025 di Aceh Singkil, dengan melibatkan bupati, dinas pendidikan, serta komunitas literasi setempat.

“Ini bukan sekadar pelestarian. Kami ingin bahasa ini bangga berdiri di hadapan masa depan,” ujar Dani, mantap.

Bahasa mungkin tak akan menyelamatkan dunia. Tapi lewat kata, manusia bisa menyelamatkan dirinya sendiri dari lupa.

Lewat upaya kecil di pelosok barat Sumatera ini, bahasa ibu kembali diberi nyawa. Diucapkan dengan bangga, ditulis dengan cinta, dan dipertontonkan dengan jenaka di media sosial.

Aceh Singkil tak sedang bernostalgia. Ia sedang menulis ulang masa depan lewat bahasa yang tak ingin padam atau hanyut begitu saja.[*]