Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Bahlil yang Bergeming

February 4, 2025 09:54
IMG-20250204-WA0040

Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar

HATIPENA.COM – Betapa indahnya negeri ini. Antrean panjang di mana-mana. Bak parade penderitaan. Nenek-nenek kelelahan, ada yang sampai meninggal. Tapi apa? Bahlil, sang Menteri ESDM, tetap bergeming. Teguh seperti karang di tengah badai protes. “Ini hanya masa penyesuaian,” katanya. Penyesuaian? Rakyat antre berjam-jam, bahkan berhari-hari, tapi Bahlil bilang ini hanya soal waktu. Waktu untuk apa? Untuk menunggu nenek-nenek lain tumbang?

Anggota Dewan berteriak. “Hentikan kebijakan yang menyusahkan rakyat!” Tapi Bahlil? Dia hanya tersenyum. Mungkin di kepalanya, ini semua hanya drama. Rakyat kecil yang ribut-ribut. Padahal, dia bilang, “Tidak ada pengurangan volume, tidak ada pengurangan subsidi.” Oh, tentu saja. Rakyat percaya. Percaya bahwa antrean sepanjang itu hanya ilusi. Percaya bahwa nenek yang meninggal itu hanya mimpi buruk.

Bahlil berjanji. “Kami akan memperbaiki aturan.” Memperbaiki? Aturan yang baru saja diterapkan, tapi sudah bikin kekacauan? Aturan yang memaksa rakyat beli elpiji 3 kg hanya di pangkalan resmi Pertamina. Warung-warung? Tutup. Pengecer? Gulung tikar. Rakyat? Terlunta-lunta. Tapi Bahlil bilang, ini untuk kebaikan. Agar harga terkontrol. Agar subsidi tepat sasaran. Betapa mulianya. Tapi di mana kontrol itu ketika harga di pasaran melambung sampai Rp20 ribu? Di mana tepat sasarannya ketika rakyat harus antre berjam-jam hanya untuk dapat satu tabung gas?

Narti, warga Ragunan, sudah keliling dari sore sampai malam. Tidak dapat. Dede, asisten rumah tangga di Ampera, juga sama. Warung langganannya bilang, stok habis sejak tiga hari lalu. Fitri di Rorotan terpaksa beli gas non-subsidi. Tapi Bahlil bilang, tidak ada kelangkaan. Tidak ada pengurangan volume. Tentu saja. Mungkin di dunia Bahlil, antrean itu hanya ilusi. Mungkin di dunianya, rakyat yang kelaparan itu hanya khayalan.

“Kami tidak bermaksud menyulitkan rakyat,” kata Bahlil. Tapi apa yang terjadi? Rakyat sulit. Rakyat menderita. Rakyat antre. Tapi Bahlil tetap bergeming. Mungkin dia pikir, rakyat ini terlalu cerewet. Terlalu banyak protes. Padahal, dia hanya ingin “menata distribusi”. Menata? Dengan cara mempersulit rakyat? Dengan cara membuat antrean sepanjang itu? Dengan cara membiarkan nenek-nenek kelelahan sampai meninggal?

Bahlil, sang menteri. Dia hebat, bisa tidur nyenyak. Sementara rakyatmu terjaga, antre demi sesuap gas. Dia bisa tersenyum sementara rakyatmu menangis. Dia bisa berjanji sementara rakyatmu menderita. Dia bilang, ini hanya masa penyesuaian. Tapi sampai kapan? Sampai berapa banyak lagi nenek-nenek yang tumbang? Sampai berapa banyak lagi rakyat yang terpaksa beli gas non-subsidi?

Miris sekali. Banyak berkata, negeri kaya SDA, tapi rakyat sengsara. “Ini Indonesia atau Bangladesh, sih” Banyak lagi ungkapan kekesalan masyarakat kalangan bawah. Namun, Bahlil sepertinya tidak peduli lagi. Ia ingin kebijakannya harus tetap jalan. Kebijakan Bahlil. Jangan salah sebut ya! (*)

#camamewak

Berita Terkait