Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Bali Darurat Sampah

February 18, 2025 06:43
IMG-20250218-WA0033

Ilustrasi : AI/ Rizal Pandiya
Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya

HATIPENA.COM – Angin pantai membawa aroma asin yang khas, berpadu dengan desir ombak yang tak henti-henti mencumbu pasir putih.

Namun, di sela-sela keindahan itu, tersembunyi kenyataan pahit: botol plastik mengapung di antara gulungan ombak, kantong kresek tersangkut di akar bakau, dan gelas plastik berserakan di pasir, menjadi saksi bisu paradoks negeri ini.

Bali, pulau surga yang diagungkan dunia, kini menghadapi ironi terbesar dalam sejarahnya.

Ketika Gubernur Wayan Koster memimpin pada 2018–2023, dua regulasi monumental lahir: Pergub Bali No. 97 Tahun 2018 yang membatasi timbulan sampah plastik sekali pakai, dan Pergub No. 47 Tahun 2019 yang mengatur penyelesaian sampah berbasis sumber.

Seharusnya, ini menjadi tonggak perubahan besar, sebuah revolusi lingkungan yang menjaga keseimbangan alam Bali. Namun, realitas berkata lain.

TPA Suwung telah penuh. Di desa-desa, protes bermunculan menolak tempat pembuangan sampah terpadu (TPST). Warga Kesiman Kertalangu menjerit karena udara yang mereka hirup bercampur bau menyengat dari sampah yang dibawa ke sana. Darurat sampah tak lagi bisa disangkal.

Lalu datanglah perintah baru: Sekda Bali Dewa Indra mengeluarkan edaran yang mengingatkan kembali soal pembatasan plastik.

Air kemasan dalam botol dan gelas plastik dilarang di kantor-kantor pemerintahan, setiap aparatur diwajibkan membawa tumbler. Langkah ini tampak serius, tapi hanya dalam ruang-ruang formal.

Di pasar-pasar, warung-warung kecil, hingga minimarket besar, plastik masih menjadi raja.

Air mineral dalam botol kecil tetap laris manis, satu per satu dibeli, diminum, lalu dilempar begitu saja.

Jalanan, selokan, sungai, dan laut menjadi saksi bisu dari kebiasaan yang sulit diubah.

Sampah plastik terus beranak-pinak, mengendap di sungai, menyumbat irigasi, merusak ekosistem laut, menciptakan penyakit yang diam-diam mengintai.

Inilah paradoksnya. Di satu sisi, pemerintah begitu tegas melarang plastik di ruang-ruang administrasi, tapi di sisi lain, di luar sana, plastik masih merajalela, bebas berkeliaran tanpa kendali.

Kesadaran yang diharapkan dari masyarakat tak kunjung tumbuh sempurna. Aturan telah dibuat, tapi tanpa kepatuhan kolektif, semua hanya menjadi tulisan mati di atas kertas.

Bali tak bisa terus-terusan hidup dalam paradoks ini. Jika benar ingin menjadikan 2025–2030 sebagai penanda 100 tahun Bali ke depan, maka sikap tegas harus berlanjut dari pemerintah hingga ke tangan rakyat.

Sampah plastik harus diselesaikan di tempatnya masing-masing. Pekarangan rumah harus menjadi contoh, kantor dinas harus memberi teladan, setiap sudut pulau harus menjadi ruang suci yang bebas dari plastik.

Hanya dengan kesadaran bersama, Bali bisa keluar dari bayang-bayang paradoks ini. Jika tidak, suatu hari nanti, wisatawan datang bukan lagi untuk menikmati surga tropis, melainkan menyaksikan pulau yang terkubur oleh limbahnya sendiri. (*)

Denpasar, 18 Februari 2025