HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Batu Perahu di Pesisir

August 26, 2025 09:27
IMG-20250825-WA0007

Mohammad Medani Bahagianda
(Dalom Putekha Jaya Makhga)


Tabik Pun!

HATIPENA.COM – Masyarakat adat Lampung Saibatin, yang menghuni pesisir selatan Sumatra, menyimpan khazanah kearifan lokal yang dituturkan dari generasi ke generasi. Cerita-cerita ini bukan sekadar hiburan, tetapi merupakan catatan sejarah, penuntun moral, dan peneguh identitas kebangsawanan (sikin).

Salah satu legenda yang mengakar kuat, khususnya di kalangan marga Pemuka, adalah legenda Batu Perahu. Cerita ini menuturkan asal-usul nenek moyang mereka sekaligus menjadi simbol filosofi perjalanan hidup manusia Saibatin: merantau, beradaptasi, dan meninggalkan warisan yang abadi.

Alkisah, pada zaman dahulu kala, sekelompok keluarga dari kerajaan Skala Brak di pedalaman Lampung melakukan perjalanan besar. Mereka dipimpin oleh seorang pemimpin kharismatik yang arif dan bijaksana, dipanggil dengan gelar Sang Pemuka. Perjalanan mereka menggunakan perahu besar yang terbuat dari kayu pilihan, membelah Samudera Hindia yang ganas, mencari tanah baru untuk ditinggali dan dikembangkan.

Setelah berhari-hari berlayar, diterpa badai dan gelombang, mereka akhirnya melihat daratan. Namun, sebelum mencapai pantai, sebuah kejadian gaib terjadi. Perahu besar yang membawa mereka tiba-tiba berhenti dan berubah wujud, membatu menjadi sebuah bongkahan batu besar yang bentuknya mirip perahu terbalik.

Peristiwa ini diyakini sebagai pertanda dari kekuatan alam dan leluhur bahwa inilah tanah yang ditakdirkan untuk mereka. Sang Pemuka pun berseru, sebagaimana dikutip dalam naskah Kuntara Raja Niti, “Disikhi lembaga, ditapai pusaka” (Di sini kita berlabuh, di sini pusaka ditegakkan). Kutipan ini menandai dimulainya sebuah peradaban baru. Prosesi Cakak Pepadun (penobatan adat) pertama pun dilakukan di sekitar batu tersebut, mengukuhkan Sang Pemuka sebagai Raja Adat pertama di wilayah baru itu.

Batu Perahu (Batu Khaghou dalam bahasa Lampung) tidak hanya menjadi penanda geografis, tetapi menjadi silsilah hidup bagi marga Pemuka. Setiap lekuk dan bentuk pada batu itu ditafsirkan sebagai simbol dari struktur keluarga. Batu yang besar adalah Sang Pemuka, batu-batu kecil di sekitarnya adalah para pengikut dan keturunannya. Legenda ini menjadi dokumen silsilah (tarikh) yang paling otentik, lebih kuat dari tulisan di atas kertas, karena terpateri di alam dan ingatan kolektif.

Setiap anak dari marga Pemuka, sejak kecil, telah diajak orang tuanya untuk melihat batu tersebut dan diceritakan tentang perjalanan heroik leluhurnya. Ritual Nyetukhukh (ziarah) ke Batu Perahu menjadi kewajiban turun-temurun, terutama sebelum melaksanakan upacara adat besar seperti pernikahan atau penobatan gelar.

Dalam ritual ini, mereka membersihkan area sekitar batu, menabur bunga, dan memimpin doa (sebambangan) yang dipimpin oleh Punyimbang (kepala adat). Analisis filosofis dari ritual ini menunjukkan penghormatan mendalam terhadap asal-usul (asalan). Mereka yang lupa pada asalan-nya dianggap lampah luppukh (tersesat jalan), sebuah konsep yang menekankan bahwa identitas seseorang berakar dari sejarah leluhurnya.

Legenda Batu Perahu mengandung lapisan filosofis yang dalam bagi masyarakat Saibatin. Perahu, dalam kebudayaan bahari Nusantara, adalah simbol mobilitas, perdagangan, dan petualangan. Namun, perahu yang membatu adalah simbol penamatan perjalanan, konsolidasi, dan pendirian sebuah peradaban yang tetap.

Ini mencerminkan dialektika dalam jiwa orang Saibatin: di satu sisi memiliki semangat merantau (merantau sai bumi jama), tetapi di sisi lain memiliki komitmen untuk membangun dan mempertahankan tanah yang telah dipilih (duduk sai khaghou jama).

Proses pembatuan sendiri bisa dimaknai sebagai pengorbanan tertinggi. Perahu yang tadinya adalah alat transportasi, mengorbankan wujudnya yang cair (bisa bergerak) menjadi wujud yang padat dan permanen (batu) untuk menjadi fondasi yang kokoh bagi keturunannya.

Ini selaras dengan nilai piil pesenggiri, harga diri yang diraih dengan pengorbanan dan kerja keras untuk meninggalkan warasan yang abadi bagi komunitas. Batu itu adalah pengingat bahwa suatu saat perjalanan hidup akan berlabuh, dan yang tersisa adalah warisan (pusaka) yang akan dikenang.

Batu Perahu di Pesisir Lampung lebih dari sekadar formasi geologis; ia adalah monumen sejarah, silsilah marga, dan kitab filsafat yang terbuka. Legenda ini telah berhasil mentransmisikan nilai-nilai inti Masyarakat Saibatin, seperti keberanian, kebijaksanaan, kesetiaan pada tradisi, dan penghormatan pada leluhur, melalui medium cerita yang memesona.

Keberadaan batu tersebut, yang masih bisa disaksikan hingga hari ini, menjadi bukti nyata (sakhi) bahwa sebuah perjalanan epik nenek moyang tidak akan pernah terlupakan selama batu itu tegak dan ceritanya terus dituturkan dari mulut ke mulut, mengukuhkan identitas Kebandaran Marga Pemuka dalam lanskap budaya Indonesia. (*)

Sumber Referensi Terverifikasi:

  1. Buku: Adat Istiadat Daerah Propinsi Lampung. Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1978. (Format Fisik – Perpustakaan Nasional).
  2. Buku: Masyarakat Adat Lampung Saibatin: Sejarah, Adat, dan Budaya karya Dr. Novita Tresiana, M.Si. Penerbit Universitas Lampung Press. 2020. (Format Digital – E-book terverifikasi).
  3. Naskah Kuno: Kuntara Raja Niti. Transkripsi dan terjemahan naskah kuno Lampung yang memuat petuah, sejarah, dan aturan adat. (Akses terbatas pada koleksi filologis dan ahli adat).
  4. Jurnal: Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora artikel “Nilai-Nilai Kearifan Lokal dalam Cerita Rakyat Lampung (Studi pada Masyarakat Adat Saibatin)” oleh Indah Purnama Sari. Vol. 5, No. 2, 2016. (Format Digital – Portal Garuda).