Dalam Menghadirkan Parlemen yang Lebih Baik
Dr. Wendy Melfa
Akademisi UBL, Penggiat Ruang Demokrasi (RuDem)
DISPARITAS KEPENTINGAN
HATIPENA.COM – Protes dan kemarahan warga masyarakat yang menghadirkan eskalasi demonstrasi di Jakarta dan beberapa kota dan daerah lainya, telah menyebabkan aksi pengrusakan dan pembakaran. Sejumlah fasilitas publik hancur dan harta milik pribadi pun dijarah.
Tak sampai di situ. Sejumlah bentuk ‘perlawanan massa demonstrasi kepada aparat keamanan yang berjaga di lapangan pun tak terhindari. Klimaksnya, seorang pengendara Ojol Affan Kurniawan tewas dilindas mobil rantis Brimob. Eskalasi gelombang demonstrasi massa pun meningkat.
Sejumlah kebijakan penyelenggara negara ditengarai sebagai triggers yang dinilai ‘menekan’ rakyat, baik dari eksekutif dan legislatif yang menaikkan sejumlah tunjangan perumahan yang dianggap bernilai fantastis. Sementara kondisi ekonomi rakyat sedang kesusahan, dan juga performa parlemen yang kinerjanya tidak sebanding dengan fasilitas yang mereka nikmati.
Ironi pun terjadi. Sejumlah anggota DPR mempertontonkan perilaku hedon dengan joget-joget di gedung parlemen. Apa lagi respons sejumlah anggota DPR terhadap aspirasi masyarakat ditanggapi dengan narasi dan diksi yang tidak patut.
Akumulasi dari itu semua, mengingatkan kembali kita semua pasca Pemilu 2024 yang lalu, namun sempat mereda seiring perjalanan waktu dan hadirnya isu lain. Situasi politik kembali dihangatkan melalui fenomena demonstrasi di penghujung Agustus 2025.
Tuntutan pentingnya kebutuhan untuk mereformasi (menata kembali) sistem politik Indonesia, termasuk di dalamnya reformasi sistem Pemilu dan Partai Politik kita yang sangat berkaitan erat dalam membangun sistem politik pun dinilai sangat mendesak.
Perbaikan sistem Pemilu dan Partai Politik menjadi pintu masuk (get in) dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari bangunan sistem politik, guna menghadirkan postur, format, performa, dan kinerja yang lebih baik dari penyelenggara negara.
Selain itu, soal komposisi personal pengisian jabatannya dihasilkan dari mereka yang terpilih dari hasil Pemilu (election officials) yang lebih baik sebagai perwujudan kedaulatan rakyat yang performanya dinilai mampu untuk mewakili kepentingan rakyat pemilih khususnya, maupun rakyat pada umumnya.
Memperhatikan teori managemen dalam mengelola suatu proses atau tahapan, pendekatan input, procces, dan output dapat dijadikan ukuran sebagai satu kesatuan yang saling terkait dan menentukan. Untuk menghadirkan Parlemen dengan keanggotaan yang lebih baik maka akan sangat ditentukan oleh proses yang juga baik (Pemilu), dan untuk menghadirkan Pemilu yang baik akan sangat dipengaruhi oleh calon Anggota Legislatif (caleg) yang diusulkan oleh Partai Politik peserta Pemilu, tanpa mengenyampingkan faktor-faktor lainya seperti UU, sarana dan prasarana termasuk penyelenggara Pemilu di dalamnya, budaya Pemilu/ Politik masyarakatnya.
Pada tataran pemetaan untuk penataan sistem politik yang lebih baik untuk menghadirkan penyelenggara Negara sebagai produk dari proses Pemilu inilah terdapat disparitas (kesenjangan) cara padang yang cukup lebar antara kepentingan rakyat dengan Partai Politik peserta Pemilu yang disebabkan oleh orientasi dan harapan dari keduanya yang berbeda.
Setiap Parpol peserta Pemilu, berupaya sekuat tenaga untuk hadir sebagai pemenang Pemilu dengan perolehan suara terbanyak dari pemilih yang menghasilkan (kursi) keanggotaan Parlemen sebanyak-banyaknya.
Dari situlah parameter demokrasi pada akhirnya ditentukan, pemenang, urutan pemenangan Parpol peserta Pemilu, klasifikasi Parpol, apakah Parpol papan atas, menengah dan seterusnya, komposisi pengisian struktur kelembagaan Parlemen, pengambilan kebijakan dan keputusan-keputusan Parleman baik ke dalam maupun ke luar.
Selain itu, juga termasuk kompensasi dana pembinaan Parpol dari Pemerintah adalah juga ditentukan dari seberapa banyak kursi dan atau perolehan suara sah dari Pemilu, inilah yang menjadikan Parpol dalam menyusun Calegnya lebih berorientasi pada popularitas dan atau kemampuan finansial Caleg yang lebih dikenal masyarakat.
Seperti artis atau tokoh populer lainya, dan atau mereka yang mampu secara finansial mampu membiayai proses dan tahapan Pemilu, sehingga probabilitas Caleg dinilai lebih berpeluang untuk terpilih.
Pertimbangan probability tersebut yang dapat menyebabkan nilai-nilai integritas, fortopolio, dan kemampuan Caleg biasanya agak terabaikan.
Situasi kontemporer yang dapat kita temukan pada sejumlah Anggota Parlemen hasil Pemilu 2024 lalu yang merupakan keanggotaan Parlemen dengan kinerja dan performa yang kurang sesuai dengan harapan rakyat yang menitipkan kepentingannya untuk mengelola kekuasaan Negara ini dengan lebih baik. Sebagaimana teori managemen pengelolaan, output yang baik hanya akan didapatkan dari input dan process yang baik. Bagaimana bisa menghadirkan output keanggotaan Parlemen yang baik, manakala input bukan berorientasi pada integritas dan capabilitas, tetapi lebih kepada popularitas, inilah bentuk disparitas cara pandang rakyat dan Parpol yang berbeda yang selama ini ‘menyelimuti’ proses pengisian jabatan Anggota Parlemen sebagai elections official hasil Pemilu kita.
REFORMASI PARPOL DAN PEMILU
Untuk mendekatkan jurang disparitas cara pandang rakyat dan Parpol dalam menghadirkan Parlemen yang lebih baik, pintu masuknya adalah dengan reformasi Partai Politik dan Pemilu dalam satu tarikan nafas dan waktu sehingga terbangun sudut pandang yang sama tentunya melibatkan berbagai stake holder secara inklusif. Menghadirkan Parlemen dengan prinsip keterwakilan yang dapat menggantikan prinsip hanya keterpilihan menjadi pembahasan yang penting karena akan terdapat ukuran-ukuran yang lebih baik sebagai portofolio ‘persyaratan’ untuk dapat dicalonkan sebagai Caleg baik jenjang pendidikan formal, pengalaman bidang tugas atau keilmuan dan persayaratan teknokrasi lainya yang dapat menunjang performa dan kinerja manakala terpilih sebagai Parlemen, standardisasi integritas yang terukur, juga yang tidak kalah pentingnya adalah mempertimbangkan pembiayaan Pemilu termasuk pembiayaan kampanye untuk Parpol dan Calegnya dalam Pemilu oleh Negara dengan sanksi penegakan hukum yang ketat dengan prinsip equality before the law atas penyimpangannya, hal ini untuk menghindari atau memperkecil adanya praktik money politic yang dapat mencederai integritas Pemilu dan hasilnya.
Reformasi Parpol dan Pemilu sebagai pintu masuk perbaikan sistem politik secara umum, bukan saja untuk menjawab tuntutan rakyat sebagaimana disuarakan pada berbagai eskalasi gelombang demonstrasi, tetapi juga menjadi suatu kebutuhan bagai bangsa ini untuk memperbaiki kehidupan pengelolaan ketatanegaraannya, serta sebagai bentuk pengejawantahan Sila keempat Pancasila, “Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan”. Prinsip-prinsip dari diksi Perwakilan sebagaimana tercantum pada Sila Keempat Pancasila tersebut harus tercermin dari bekerjanya sistem politik Indonesia yang dihasilkan dari proses Pemilu sebagai perwujudan kedaulatan Rakyat Indonesia, dan bukan prinsip-prinsip dari diksi keterpilihan. Menjadi agenda besar mengedepankan narasi integritas dan kapabilitas yang menyelimuti proses menghadirkan Parlemen Indonesia, ketimbang narasi popularitas yang dapat dibangun dari framing dan branding pemakaian platform digital tanpa mempertimbangkan etik dan pemanfaatan lebih luas dan bertanggungjawab untuk kebutuhan bangsa yang lebih baik, dengan cara mempengaruhi dan membentuk persepsi pemilih dan menghadirkan bias tanpa disadari.
Sistem Pemilu juga mempunyai peran kunci dalam menghadirkan Parlemen yang lebih baik, meskipun secara akademik setiap pilihan sistem Pemilu yang digunakan, akan terdapat kekuatan sekaligus kelemahan dari penerapannya. (*)