Oleh Gunawan Trihantoro
Ketua Satupena Blora dan Sekretaris Kreator Era AI Jawa Tengah
HATIPENA.COM – Membaca adalah jendela dunia. Kalimat ini begitu akrab di telinga kita. Tapi kenyataannya, banyak dari kita membuka jendela itu hanya setengah.
Membaca, dalam praktiknya, tidak selalu sampai ke titik akhir. Tidak semua pembaca menuntaskan kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf.
Padahal, membaca tuntas bukan sekadar menyelesaikan bacaan secara fisik. Ia adalah proses memahami keseluruhan makna, melihat konteks, dan menimbang argumen secara utuh.
Sayangnya, masih ada yang tergesa-gesa dalam menyimpulkan. Sekali lihat judul, langsung berkomentar. Sekali membaca satu paragraf, langsung menghakimi.
Inilah tantangan literasi kita hari ini. Tantangan bukan pada kemampuan membaca huruf, tapi kemampuan membaca makna secara menyeluruh.
Fenomena ini sering kita temui di media sosial. Sebuah artikel dibagikan, tapi komentar yang muncul kerap menyimpang dari isi.
Ada yang protes isi berita padahal yang dibaca hanya judul. Ada pula yang menyerang penulis karena salah paham terhadap pesan tulisan.
Kebiasaan membaca tidak tuntas melahirkan sikap reaktif. Akibatnya, ruang publik kita dipenuhi debat yang dangkal, bukan diskusi yang mendalam.
Padahal, bangsa yang besar bukan hanya karena jumlah pembacanya, tapi karena kedalaman pemahaman para pembacanya.
Belajar membaca tuntas adalah sebuah keharusan. Apalagi di era post-truth saat ini, ketika opini lebih cepat menyebar daripada fakta.
Membaca tuntas melatih kesabaran. Ia mengajarkan kita untuk tidak terburu-buru dalam menilai. Ia menuntun kita untuk bersikap adil terhadap teks dan penulisnya.
Membaca tuntas juga melatih empati. Kita diajak memahami mengapa seseorang menulis sesuatu, dari mana perspektifnya berasal, dan apa harapan yang ingin disampaikan.
Di ruang kelas, membaca tuntas bisa menghindarkan mahasiswa dari kesalahan menafsirkan tugas. Dalam dunia kerja, hal ini mencegah miskomunikasi yang merugikan.
Dalam kehidupan sosial, membaca tuntas bisa menyelamatkan hubungan antarteman, antarumat beragama, bahkan antarnegara.
Lalu bagaimana solusinya?
Pertama, kita perlu menumbuhkan kesadaran bahwa membaca adalah proses menyerap, bukan sekadar melihat huruf.
Ajarkan kepada anak-anak sejak dini bahwa membaca buku itu seperti menjelajahi hutan, harus menyusuri semua jalan, bukan hanya melihat peta.
Kedua, perlu ada pembiasaan membaca perlahan. Tidak apa-apa lambat asal paham, daripada cepat tapi salah.
Guru, dosen, dan pendidik bisa memberikan latihan membaca yang menekankan pemahaman utuh, bukan sekadar kecepatan.
Ketiga, kita perlu mengubah budaya komentar. Jangan dulu berkomentar sebelum membaca tuntas. Jangan menyimpulkan sebelum memahami.
Sosial media pun seharusnya mulai mendorong praktik ini, misalnya dengan fitur peringatan: “Apakah Anda sudah membaca seluruh isi sebelum membagikan?”
Keempat, perlu keteladanan dari tokoh publik. Jika para pemimpin, penulis, dan intelektual terbiasa membaca tuntas sebelum bersuara, publik akan ikut belajar.
Kelima, dorong literasi digital yang sehat. Ajari netizen membedakan antara fakta dan opini, antara kutipan dan konteks.
Kita tidak sedang kekurangan informasi. Kita kekurangan ketekunan untuk memahaminya secara utuh.
Membaca tuntas bukan hanya soal etika membaca, tapi juga bentuk tanggung jawab sosial.
Karena setiap pembaca yang tidak tuntas bisa memicu salah paham, dan setiap salah paham bisa berujung pada konflik.
Membaca tuntas adalah jalan menuju pemahaman. Dan pemahaman adalah pintu menuju kemajuan.
Jika ingin Indonesia menjadi bangsa pembelajar, maka budaya membaca tuntas harus dimulai hari ini, dimulai dari kita. (*)