Abd Rahman Hamid
Sejarawan UIN Raden Intan Lampung
HATIPENA.COM – Berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 249 tahun 1964, tanggal 23 September ditetapkan sebagai Hari Nasional Maritim. Penetapan ini didasarkan pada satu peristiwa penting setelah proklamasi, yaitu Musyawarah Nasional Maritim I di Jakarta pada 23–28 September 1963.
Pada 23 September 1963, Bung Karno dikukuhkan sebagai Nakhoda Agung oleh seluruh masyarakat dan karyawan maritim Indonesia yang menghadiri musyawarah itu.
Pengukuhannya dituangkan pada Piagam Luhur Maritim yang ditandatangani oleh dua pimpinan Panitia Besar Musyawarah Nasional Maritim, yakni Hardiman Sumardanus dan Ir. Kadirman.
Dalam pembukaan Munas, Bung Karno menyampaikan pidato berjudul “Kembalilah Mendjadi Bangsa Samudera.” Ia menegaskan bahwa pada zaman bahari (purbakala), bangsa Indonesia adalah bangsa pelaut. Kata bahar (dari elbaher) berarti laut. Dengan demikian, zaman bahari dimaknai sebagai masa ketika bangsa kita mengarungi lautan dan hidup sebagai bangsa pelaut.
Menurut Bung Karno, bangsa kita dahulu benar-benar bangsa pelaut. Mereka berlayar melintasi lautan dari satu pokok asal, mendiami pulau-pulau antara Madagaskar hingga Pulau Paskah, dekat Amerika Selatan. Mereka menyeberangi ribuan mil samudera yang luas sekali.
Pada zaman bahari, bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa pelaut atau umat bahari. Sejarah Kerajaan Sriwijaya (abad VI–XII) dan Majapahit (abad XIII–XV) menunjukkan bahwa kekuatan maritim menjadi fondasi kejayaannya. Bahkan, dalam tradisi lisan disebutkan bahwa pada akhir hayatnya, Mahapatih Gadjah Mada kembali atau menghilang di laut.
Pada masa Kerajaan Mataram kedua, berkembang mitos bahwa seorang raja dapat menjadi besar dan kuat jika kawin dengan Ratu Loro Kidul, penguasa Samudera Hindia. Mitos ini mencerminkan bahwa untuk menjadi negara yang kuat maka kita harus menguasai laut dan kawin dengan laut.
Makna simbolik tersebut sangat penting dalam membangun (nation-building) dan membangun kembali (nation-rebuilding) kehidupan bangsa. Bung Karno menegaskan, “Kita sekarang satu persatu, seorang demi seorang harus yakin bahwa Indonesia tidak bisa menjadi negara yang kuat, sentosa, sejahtera, jika kita tidak menguasai pula samudera, jika jika tidak kembali menjadi satu bangsa samudera, jika kita tidak kembali menjadi satu bangsa bahari, bangsa pelaut seperti kita kenal di zaman bahari itu” (Soekarno, 1963).
Pidato ini menegaskan bahwa sejak zaman bahari kekuatan, kejayaan, dan kesejahteraan bangsa kita tak lepas dari kemampuan menguasai samudera. Dalam konteks ini, laut bukan sekadar ruang geografis, melainkan sebagai fondasi strategis bagi ketahanan, kesejahteraan, dan kebesaran bangsa kita.
Urgensi Hari Maritim ditegaskan dalam pertimbangan Kepres No.249 tahun 1964 bahwa Indonesia sebagai Negara Bahari mempunyai kedudukan yang sangat penting, sehingga masalah yang berkaitan dengan soal-soal bahari perlu mendapat perhatian yang khusus dan sungguh-sungguh.
Munas I menetapkan Wawasan Bahari bagi bangsa Indonesia yang berlandaskan pada dua gagasan pokok. Pertama, suatu bangsa hanya dapat menjadi besar apabila kepribadiannya selaras dengan alam sekitarnya. Alam Indonesia adalah alam bahari. Karena itulah, kehidupan bangsa Indonesia tergantung pada sikapnya terhadap masalah-masalah bahari.
Kedua, fakta-fakta esensial yang terdapat di Indonesia menjadi landasan pembenaran yang tak terbantahkan bahwa wawasan bahari harus dijadikan dasar bagi bangsa Indonesia dalam mencapai tujuan revolusi nasional (Depermar, 1966, p. 48).
Soenjoto (1964) menjelaskan, bahwa wawasan bahari mengandung nilai-nilai positif yang penting bagi pembentukan karakter bangsa. Kehidupan di laut mengubah sifat seseorang, misalnya dari egois menjadi penolong, berpandangan sempit menjadi berpikiran jauh ke depan, serta sikap acuh tak acuh menjadi sigap, tangkas, dan dinamis. Kehidupan bahari menumbuhkan sifat gotong royong dan terpimpin, solidaritas, dan kepercayaan pada diri sendiri.
Fakta Maritim Indonesia
Urgensi maritim sangat erat kainnya dengan lima fakta yang melekat pada identitas Indonesia sebagai negara maritim (archipelagic state) yaitu: geografis, konseptual, hukum, sejarah, dan ingatan kolektif.
Secara geografis Indonesia merupakan negara maritim terbesar di dunia. Luas total wilayahnya, dengan lebar laut territorial 12 mil, mencapai 5 juta km². Dari luas itu, sekitar 3,1 juta km² atau 62% berupa lautan dan sisanya sebesar 38% adalah daratan (Nontji, 2002, p. 4).
Fakta tersebut berimplikasi pada konsep archipelagic state. Istilah ini sering diterjemahkan dengan negara kepulauan, yang secara harfiah kurang tepat. Asal kata archipelago dari dua suku kata bahasa Latin, yaitu arch (utama) dan pelagos (laut). Dengan demikian, archipelago berarti laut yang utama. Jika ditambahkan kata state, maknanya adalah “negara dengan laut yang utama” atau negara maritim.
Fakta ketiga terkait hukum laut. Pada awalnya, laut menjadi pemisah antar-pulau, sebagai implikasi Ordonansi Maritim 1939, yang menetapkan lebar laut teritorial tiga mil laut dari garis pangkal pulau-pulau terluar. Konsepsi ini melahirkan sejumlah laut bebas di antara pulau-pulau besar seperti Selat Makassar, Laut Jawa, Laut Banda, dan Laut Flores.
Menyadari ketentuan ini tidak mendukung prinsip negara kesatuan, pada 13 Desember 1957, pemerintah mengeluarkan Deklarasi Djuanda. Deklarasi ini menegaskan Indonesia bukan lagi “kumpulan pulau dengan lautnya masing-masing,” melainkan “satu kesatuan utuh antara pulau-pulau dan lautnya,” dengan lebar laut teritorial 12 mil diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau.
Deklarasi ini melandasi lahirnya konsep archipelagic state yang diperjuangkan para diplomat Indonesia di forum internasional UNCLOS selama 25 tahun (1957–1982). Perjuangan itu berhasil dan konsep archipelagic state diakui oleh dunia. Ini menjadi satu kontribusi penting dari Indonesia bagi hukum laut internasional.
Sebagai penghargaan atas momen bersejarah itu, pada 13 Desember 1999 Presiden Abdurrahman Wahid mencanangkannya sebagai Hari Nusantara. Lalu, ditetapkan secara resmi sebagai Hari Perayaan Nasional melalui kepres No.126 tahun 2001 oleh Presiden Megawati Soekarnoputri.
Fakta selanjutnya adalah sejarah. Sejak zaman bahari, bangsa kita memiliki kisah gemilang sebagai negara maritim, seperti Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Kisah serupa berlanjut di Kerajaan Gowa-Tallo (Makassar) abad XVI hingga XVII.
Kerajaan terakhir ini bukan hanya berpengaruh karena luas wilayah kekuasaannya, tetapi juga gagasannya mengenai laut bebas (mare liberum), yang kemudian memicu perang dengan Belanda yang menganut konsep laut tertutup (mare clausum). Dengan demikian, fakta historis mengungkapkan bahwa era kejayaan maritim selama sepuluh abad (abad VII-XVII).
Fakta terakhir adalah ingatan kolektif masyarakat mengenai laut, yang tercermin melalui sejumlah lagu populer di tanah air. Salah satunya ialah “Nenek Moyangku” yang diciptakan Sairdjah Niung (Ibu Soed) tahun 1940. Lagu ini memperkuat citra bangsa kita sebagai pelaut yang berani menghadapi ombak dan badai demi mengarungi samudera.
Pada 1980-an, wacana kelautan muncul lagi dalam berbagai lagu populer, antara lain Kutuk Seribu Dewa yang dinyanyikan Faris RM, Nyanyian Ombak dan Sebuah Tragedi oleh Ebiet G. Ade, Lautku tak Biru, Nelayanku, serta Celoteh Camar Tolol oleh Iwan Fals, dan Balada Anak Nelayan oleh Julius S. Selain itu, setiap provinsi memiliki lagu-lagu bernuansa maritim yang mencerminkan kedekatan masyarakatnya dengan laut (makna kawin dengan laut).
Lagu-lagu tersebut menunjukkan bahwa laut dalam memori bangsa Indonesia tidak hanya menjadi latar geografis, melainkan juga simbol kehidupan, tragedi, perjuangan sosial, romantika, dan kesadaran ekologis. Musik populer berperan merawat ingatan kolektif bangsa Indonesia sebagai negara maritim.
Akhir kata, dirgahayu Hari Nasional Maritim ke-61 tahun. Jalesveva Jayamahe! (*)