Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025

Berpulang pada Hari yang Langka

June 7, 2025 14:21
IMG_20250607_141937

Obituari Ustad Yahya Waloni

Oleh: Rizal Pandiya
Sekretaris Satupena Lampung


HATIPENA.COM – Tak semua orang mendapat karunia berpulang dengan cara yang membuat kita diam dalam rasa haru dan cemburu. Tapi Ustad Yahya Waloni, sosok muallaf kelahiran Minahasa, meninggal ketika sedang khutbah di atas mimbar, bukan sedang melaksanakan kegiatan lain.

Ia berpulang di hari Jumat, penghulu dari semua hari (sayyidul ayyam) atau disebut juga sebagai rajanya hari dalam Islam. Jumat memiliki keistimewaan dan keberkahan yang sangat besar, melebihi hari-hari lain dalam sepekan.

Ia kembali ke rahmatullah tepat di Hari Raya Iduladha, di mana pada hari itu, takbir sedang berkumandang di seantero negeri. Hari di mana umat Islam berkurban, membawa hewan-hewan terbaiknya sebagai wujud ibadah, dan ikhlas berbagi, menikmati daging kurban bersama kaum dhuafa.

Ia meninggalkan semua orang untuk berucap innalillahi wainna ilaihi rojiun ketika sedang berada di dalam masjid, melaksanakan ibadah. Bukan di kediamannya, bukan di rumah sakit, atau di tempat lain.

Ia dijemput malaikat tepat sebelum doa penutup khutbah kedua. Tugas terakhir belum selesai di dunia – namun mungkin telah paripurna di sisi-Nya. Sungguh sebuah peristiwa yang sangat langka dan penuh berkah.

Di dunia ini tidak ada yang kebetulan. Semuanya dalam skenario Allah. Ia dipanggil pada hari Jumat, saat Hari Raya Iduladha, sedang melaksanakan khutbah Jumat, di dalam masjid, dihadapan sekitar 200 jamaah pula. Ini sebuah akhir babak kehidupan yang begitu mulia.

Perpaduan dua hari istimewa – Jumat dan Iduladha – ini tidak mudah terulang, dan kemungkinan besar tidak akan terjadi lagi dalam waktu dekat. Kalender Hijriah (lunar) dan Masehi (solar) memiliki siklus yang berbeda, sehingga kombinasi tanggal seperti ini tidak sering terjadi.

Untuk mengetahui kapan Iduladha akan kembali jatuh pada hari Jumat, diperlukan kalkulasi antara kalender Hijriah dan Masehi. Namun, berdasarkan perhitungan umum, momen seperti ini terjadi sekitar setiap 11 hingga 15 tahun sekali.

Bukan Islam Warisan
Ustad Yahya Waloni adalah seorang magister teologi yang memilih jalan Islam. Dalam khutbahnya, ia tak hanya menyampaikan ayat, tapi juga menghadirkan keyakinan yang mengalir dari perjalanan hidup seorang pencari kebenaran. Ia berdiri bukan sekadar di atas mimbar, tapi di puncak pengabdian yang paling tulus.

Kita yang hidup, tak bisa tidak merasa cemburu. Sebab siapa yang tak ingin berpulang seperti itu? Di hari Jumat, saat khutbah, pada hari raya, di tengah kalimat tauhid. Tak banyak orang yang bisa menutup hidupnya di tempat terbaik, pada waktu terbaik, dan dalam amal terbaik.

Kami tak pernah duduk berdiskusi, tak sempat berbagi secangkir kopi, namun suara dan getarannya seakan mengetuk batin dari kejauhan. Ia bukan tipe penceramah yang tenang seperti aliran sungai kecil. Suaranya justru menggelegar – keras, penuh tekanan, kadang meledak-ledak seperti petir yang menyambar langit cerah.

Di sanalah magnetnya. Ia menyala seperti lampu senter yang baru dicas – terang, tegas, dan menohok ke titik-titik gelap yang lama kita sembunyikan dari diri sendiri. Setiap khutbahnya seperti cambuk yang menyadarkan, tamparan halus dari langit, yang membuat banyak jamaah terdiam – bukan karena tidak setuju, tapi karena tak mampu menyangkal bahwa itulah kebenaran.

Tak ada satu pun jamaah yang berani mendebat dakwahnya. Meski ia seorang muallaf, ilmunya dalam, landasannya kuat. Ia bicara bukan dengan emosi kosong, tapi dengan keyakinan, dengan dalil, dan dengan ketulusan yang terpancar jelas dari caranya menyampaikan.

Ia datang dari luar, tapi seperti sudah lama di dalam. Islam seakan menemukan kembali semangat awalnya lewat lidah seorang muallaf yang telah menjadikan Islam bukan sekadar agama, tapi jalan hidup yang ia perjuangkan dengan darah dan air mata.

Itulah mengapa kepergiannya membuat banyak orang terpaku. Ia pergi saat kata-katanya sedang tajam, saat pesannya sedang mengalir. Dan mungkin, itu cara Allah menunjukkan bahwa dakwah yang tulus selalu ditutup dengan tanda koma. Karena kebenaran sejati akan selalu bersambung di hati, di ingatan, dan di kehidupan kita yang sempat disentuh oleh nyalanya.

Aku menulis ini bukan sebagai orang dekat. Bahkan, aku tak pernah sekalipun bersalaman dengannya. Tapi suara khutbahnya yang terekam di YouTube seakan menampar kesadaranku. Seakan mengajakku duduk bersimpuh dan berkata, “Kamu Islam sejak lahir, tapi kenapa jiwamu sepi dari penyadaran?”

Aku malu. Ustadz Yahya adalah seorang muallaf. Ia masuk Islam lewat jalan yang panjang selama delapan tahun dalam pencarian, perenungan, dan air mata. Sedangkan aku, Islam sejak dalam kandungan, bahkan mungkin sejak di awang-awang. Tapi keimananku terasa datar, turun-temurun, nyaris otomatis. Tidak ada perjuangan, tidak ada perenungan. Islamku hanya warisan.

Mestinya, sebagai orang yang lahir dalam Islam, aku jauh lebih paham. Lebih taat. Tapi justru aku belajar darinya. Dari seorang muallaf yang semestinya “baru” dalam Islam, tapi membawaku – yang sudah Islam seumur hidup – ke dalam kesadaran yang dalam.

Itulah kenapa aku cemburu. Karena ia wafat dengan cara yang begitu indah, seakan Allah sedang berkata pada kita semua: “Lihat, beginilah Aku memuliakan hamba yang benar-benar datang kepada-Ku dengan cinta dan tauhid.”

Selamat jalan, Ustadz. Dakwahmu masih menggema. Kami bersaksi, engkau wafat dalam keadaan beriman, dalam keadaan berdakwah, dalam keadaan mengajak umat kembali kepada Allah. Engkau benar-benar khatib yang khutbahnya tak berhenti hanya karena tubuhmu tak mampu lagi menopang keseimbanganmu, sebab ruhmu tetap bicara lewat hati dan sanubari yang kau bangunkan. (*)
Bandarlampung, 7 Juni 2025
#MakDacokPedom