Oleh Abustan
Pengajar FH UID Jakarta
HATIPENA.COM – Turkmenistan, negara yg sudah “selesai” melakukan bersih-bersih terhadap segala macam ragam kebutuhan rakyatnya. Bahkan, negeri ini disebut negara tanpa tagihan.
Sejarah panjang negeri ini telah menunjukkan bahwa negara benar-benar memberikan “kenyamanan” kepada rakyatnya. Hak-hak fundamental (mendasar) bagi rakyat sudah tak ada masalah/ telah diselesaikan oleh negara. Rakyat tak perlu berbondong-bondong (antrean). Intinya, kekayaan alam dimanfaatkan dengan benar untuk kemanfaatan dan kemakmuran rakyatnya.
Pertanyaannya, bisakah negara kita seperti mereka? Kekayaan alam kita lebih banyak dan beragam, sehingga yang kita saksikan adalah memuncaknya “ketegaan”. Bagaimana teganya Pertamina menipu rakyat se-Indonesia Raya. Semoga negara cepat bersih-bersih bukan hanya omon-omon!
Rakyat Kian Memprihatinkan
Fenomena hari-hari ini, justru kita menyaksikan ironi kehidupan rakyat yang di satu sisi memprihatinkan. Namun, di sisi lain kita menyaksikan kehidupan beberapa orang yang diuntungkan oleh kekuasaan.
Ironisnya, justru mereka-mereka inilah yang banyak melakukan penyalahgunaan sumberdaya alam Indonesia. Dan, rakyat hanya pihak yang “ditipu” oleh pihak yang merugikan keuangan negara. Katakanlah contoh kasus yang masih aktual yaitu Pertamax oplosan, di mana kerugian negara sangat fantastis mencapai Rp193 triliun.
Situasi dan kondisi ini memberi secara gamblang konfirmasi bahwa betapa lemahnya negara memberikan “pemihakan” kepada rakyat lemah (miskin). Sebab uang yang dikorupsi oleh para koruptor itu sesungguhnya uang pembangunan untuk kesejahteraan rakyat.
Lebih dari itu, juga menunjukkan bahwa salah satu penyebabnya adalah karena bangsa ini memiliki institusi negara yang lemah. Secara ekstrem, penyelenggara negara tidak memiliki kemantapan ideologi, sehingga menyebabkan lahirnya berbagai penyimpangan dan proses “perampokan” keuangan negara. Akibatnya seluruh lini kehidupan berbangsa dan bernegara melemah menuju ke titik memprihatinkan (sekarat).
Akhirnya, dalam konteks ini, itulah urgensinya dalam berusaha memahami dimensi-dimensi pentingnya menjalankan bidang usaha secara fair, jujur, antimonopoli, dan selalu menjalankan persaingan usaha yang sehat (vide UU No 5/1999) tentang larangan praktik monopoli. Dengan senantiasa mengedepankan semangat demokrasi dalam bidang ekonomi.(*)
Ramadhan Pertama, Jakarta 1 Maret 2025