Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025

Bersumpah ‘Demi Allah’, Prabowo Bela Kaum Buruh

May 2, 2025 07:22
IMG-20250502-WA0010

Catatan Cak AT

HATIPENA.COM – Monas, 1 Mei 2025. Panas menyengat, ribuan kepala berkeringat, dan satu mikrofon dikuasai oleh Prabowo Subianto. Di tengah padang manusia yang berkumpul memperingati Hari Buruh Internasional, Prabowo tampil bukan sebagai presiden biasa. Ia hadir bak panglima kaum proletar.

Dengan nada bergetar dan tangan mengepal, ia bersumpah “demi Allah” akan selamanya membersamai kaum buruh hingga ajal menjemput. Sebuah kalimat heroik yang membuat para buruh terharu —atau mungkin bingung— apakah yang sedang mereka saksikan ini pidato kenegaraan atau audisi menggantikan Bung Karno di hati rakyat.

Pidato Prabowo hari itu seperti bubur kacang hijau: hangat, manis, dan sarat gizi wacana. Ia bicara soal ekonomi kerakyatan, jaminan sosial, hingga pengambilalihan kekayaan nasional dari tangan para bandit. Ia bahkan mengaku telah berkonsultasi dengan Mahkamah Agung soal ini. Mungkin ini pertama kalinya seorang presiden sebelum bertindak, tanya-tanya dulu ke hakim agung, bukan ke dukun.

Tapi mari kita sedikit menyeka peluh dan berpikir: apakah ini benar-benar momen kebangkitan kaum buruh seperti diyakini Dr. Syahganda Nainggolan dan banyak kawannya? Ataukah ini hanya season terbaru dari serial politik bertajuk “Janji Itu Mahal, Tapi Gratis Saat Kampanye”?

Pidato Prabowo meminjam banyak istilah besar. Ia menyebut “kaum buruh”, bukan sekadar “pekerja”. Ini penting. Sebab “buruh” terdengar seperti manusia yang berkeringat dan makan dengan tangan sendiri, sedangkan “pekerja” lebih netral —bisa saja CEO juga.

Dalam teori Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah, kaum seperti ini disebut sebagai kekuatan ‘ashabiyah —ikatan solidaritas yang mampu membangun atau meruntuhkan dinasti. Dan ya, kekuatan semacam ini pernah melahirkan perdana menteri dari Partai Buruh di Inggris. Tapi, tunggu dulu: buruh mana yang kita maksud?

Sebab bila kita bicara buruh, maka peta sosiologis kita harus mencakup bukan hanya buruh pabrik atau pekerja garmen berhelm plastik kuning. Tapi juga buruh tani yang tiap musim panen berharap harga gabah tak jatuh seperti moral buzzer politik; buruh ternak yang menjual ayam lebih murah dari harga gorengan.

Jangan lupakan buruh migran yang dijanjikan kerja halal tapi kadang malah dijual bak barang ke negeri orang. Jumlah mereka di luar negeri kini lebih dari 300 ribu, dengan remitansi mencapai Rp251 triliun. Mereka pergi mencari kerja di luar negeri karena ekonomi dalam negeri belum menjanjikan. Mereka mengirim devisa besar, tapi hanya disebut dalam pidato sekali setahun.

Teori Prabowo tentang ekonomi buruh barangkali belum dikodifikasi dalam jurnal bereputasi internasional atau dimasukkan ke silabus Harvard Business School, tapi intinya sangat sederhana dan justru membumi: jika buruh dan petani berpenghasilan besar, pasar akan ramai, ekonomi akan hidup, dan Indonesia akan sejahtera.

Uang yang berada di tangan rakyat kecil itu ibarat air yang mengalir deras ke sawah-sawah ekonomi, bukan menggenang di kolam-kolam investasi para spekulan. Konsep ini dikenal dalam teori ekonomi sebagai pendekatan demand-side.

Konsep tersebut pernah dikhotbahkan dengan semangat revolusioner oleh para ekonom Keynesian: bila rakyat diberi uang, mereka akan membelanjakannya, dan belanja itu akan menggairahkan produksi. Jadi bukan hanya soal cinta Tanah Air, tapi juga cinta dompet rakyat.

Dan agar tidak dikira sekadar romantisme pidato lapangan, pendekatan ini punya akar kuat dalam tradisi strukturalisme ekonomi: ketika konsumsi rakyat meningkat karena daya beli menguat, maka permintaan akan barang dan jasa naik, industri bergerak, dan tenaga kerja terserap.

Prabowo, dalam pidatonya, seperti menggabungkan Adam Smith dan Marsinah dalam satu napas perjuangan. Pajak kecil, gaji besar, dan jaminan sosial luas bukan hanya hadiah untuk buruh, tapi juga bahan bakar ekonomi nasional.

Dan mungkin, kalau teori ini serius dijalankan, tak perlu lagi kita menggelar seminar bertema “Mengapa Ekonomi Lesu”, sebab jawabannya sudah diteriakkan ribuan buruh dari atas mobil komando: kasih kami gaji yang layak, maka kami akan belanja dan membuat negeri ini bergairah!

Dalam satu bagian pidatonya, Prabowo menyampaikan bahwa total bantuan yang digelontorkan ke rakyat sudah melebihi Rp500 triliun. Ini angka yang besar—hampir sebesar harapan kaum buruh yang selama ini tak tersentuh bantuan pemerintah.

Tapi mohon maaf, kita pernah belajar dari pengalaman: angka besar bantuan sosial tak selalu berarti dampak besar. Apalagi jika distribusinya bocor di tengah jalan karena ‘tikus-tikus berdasi’ lebih lincah dari tikus sawah. Dan sering kali bansos baru digelontorkan pada musim kampanye.

Selain itu semua, Prabowo juga menjanjikan pembentukan Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional. Terdengar keren. Seperti Justice League, tapi anggotanya birokrat. Mereka diharap jadi think tank yang tidak hanya berpikir, tapi juga memberi makan. Sebab buruh tidak butuh teori kesejahteraan, mereka butuh harga sembako yang tidak bikin jantung copot.

Dan Satgas PHK yang juga dijanjikan Prabowo? Semoga mereka tidak hanya muncul saat sudah terjadi PHK massal, seperti pemadam kebakaran yang baru muncul setelah rumah jadi abu. Satgas hendaknya segera dibentuk, sebab gelombang PHK kini makin tak terbendung.

Dan jangan lupa: Prabowo juga membuka usulan pahlawan nasional dari kalangan buruh. Sungguh satu ide brilian, karena memang sudah waktunya kita mengangkat orang yang benar-benar bekerja keras, bukan yang hanya keras di medsos. Nama Marsinah kembali diusulkan. Tapi mari kita pastikan: jangan hanya Marsinah dijadikan ikon di baliho, sementara keadilan yang ia perjuangkan tetap mati suri.

Akhir pidato Prabowo ditutup dengan teriakan lantang: “Hidup Buruh!” Tepuk tangan membahana. Sebagian karena haru, sebagian mungkin karena sinyal live streaming Metro TV putus di tengah jalan dan penonton tidak tahu harus bagaimana.

Tapi terlepas dari semua itu, kita patut mengakui: pidato Prabowo kali ini menggugah. Atau setidaknya, cukup memesona untuk jadi bahan meme politik selama seminggu ke depan.

Kini, setelah semua kalimat penuh semangat, sumpah sakral, dan janji manis, tinggal satu pertanyaan tersisa: apakah ini awal dari revolusi kebijakan, atau hanya revolusi semantik belaka?

Karena pada akhirnya, buruh tak butuh drama. Mereka butuh harga murah, upah layak, dan negara yang benar-benar hadir—bukan hanya dalam pidato.

Dan kalau semua itu gagal? Ya, paling tidak kita sudah punya pidato yang bisa dikenang. Sebagai penghibur hati, sambil terus menunggu. Semoga kali ini janji benar-benar ditepati. Sebab, seperti kata para buruh yang sudah lama kenyang janji: pidato boleh membakar semangat, tapi perut tetap butuh nasi, bukan narasi.

Hidup Buruh. Hidup Keadilan. Hidup Realisme.(*)

Cak AT – Ahmadie Thaha
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 2/5/2025