Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025

BIB, Keinginan vs Kebutuhan

June 2, 2025 20:49
IMG_20250602_204755

Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya

HATIPENA.COM – Bandara Halim Perdanakusuma tampak biasa saja. Tiba-tiba aku terkenang dengan peristiwa di tahun 1997, di tempat ini, aku ada di sini, ketika Presiden Soeharto dinobatkan sebagai Jenderal Besar. Jenderal bintang lima.

Aku hadir bukan sekadar menyaksikan, tapi meliput, mencatat sejarah langka dan mungkin tak akan terulang: pemberian bintang lima kepada Soeharto, gelar agung yang hanya dimiliki tiga nama besar di republik ini—Sudirman, AH Nasution dan Soeharto.

Steril. Hening. Tapi megah. Negara tampil dengan wajah paling rapi dan paling terencana. Khidmat. Penganugerahan berjalan lancar, dan Soeharto yang ketika itu berusial 76 tahun berdiri dengan gagah.

Kini, dari bangku tunggu Halim yang tak semegah Soekarno-Hatta, pikiranku terlempar pada satu paradoks lain: tentang bandara internasional Buleleng (BIB) yang digadang-gadang di Bali utara, apakah itu keinginan atau kebutuhan?

Jakarta, dengan dua pintu masuk “angin”—Halim dan Soekarno-Hatta bisa menjadi ilustrasi. Aku memilih Halim, bukan karena lebih mewah, tapi karena lebih masuk akal.

Aktivitas terakhirku di sekitar Setiabudi, lalu ke Bidara Cina dan Matraman, ngapain harus muter sejauh ke Cengkareng hanya untuk naik burung besi?

Hidup butuh logika, juga efisiensi. Maka Halim jadi pilihan. Aku pun pulang ke Bali dengan maspakai yang tak asing lagi; city link dari Halim Perdanakusumah.

Bukankah logika dan efesien ku ini membuka ruang tanya tentang Bali, jika pulau kecil ini merealisasikan mimpi besarmya, membangun bandara bali utara; siapa yang akan lewat?

Desakan Bali punya dua bandara sangat tinggi, bahkan sempat menjadi isu politik, isu bandara itu digoreng, ada yang katanya siap membangun: tapi siapa?

Tapi okelah, coba berandai-andai. Seandainya bandara Bali Utara benar-benar berdiri, dan Bali punya dua bandara; Ngurah Rai di selatan, BIB (Bandara Internasional Buleleng) di Bali utara.

Pertanyaannya seperti di atas; kira-kira- siapa yang akan memilihnya? Siapa memilih terbang ke Bali lalu mendarat di Bali utara?

Pusat pariwisata, hotel bintang lima, hihuran malam, dan pantai berpasir emas justru berada di selatan? Warga yang sering terbang juga ada di Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan)?

Akankah penumpang ‘dipaksa’ memilih turun di Bali utara lalu dua atau tiga jam perjalanan darat menuju Sanur, Kuta atau Nusa Dua? Tidakkah itu membuat capek, tidak nyaman dan membosankan?

Jika demikian adanya, jika dipaksa dengan ketidaknyamanan hingga tiga jam, tidakkah membuat kecewa dan tidak datang lagi? Jika itu terjadi, tidakkah itu yang namanya bunuh diri?

Keinginan pasar akan tetap menjadi penentu utama bandara megah di utara Bali itu. Jika pasar tidak dipedulikan, itu ancaman, BIB bisa jadi monumen mangkrak dari kebijakan yang tak menakar arah angin?

Aku teringat proyek teman bus yang dinamakan TMD—tujuan mulia, biaya murah karena disubsidi, tapi sambutan pasar nyaris nihil karena warga lebih memilih naik kendaraan pribadi. Bagaimana jika warga lebih memilih Ngurah Rai dibandingkan BIB? Apa yang terjadi jika sebuah keinginan lupa mendengar detak hati pengguna, maka ia akan menjadi sia-sia.

Hari ini aku duduk menunggu keberangkatan, tapi pikiranku sedang menjelajah masa lalu dan masa depan. Dari seremoni bintang lima hingga opsi-opsi terbang yang tersembunyi dalam logika sehari-hari.

Dunia ini memang paradoks: kehormatan militer diberikan dalam keheningan, sementara bandara dibangun dalam gegap gempita perencanaan, tapi bisa saja sunyi oleh pilihan penumpang.

Dari Halim aku berangkat. Tapi mungkin, renungan di ruang tunggu ini, bisa memilah apakah BIB keinginan atau kebutuhan? (*)

Jakarta, 2 Juni 2025