Rizal Pandiya
Sekretaris Satupena Lampung
HATIPENA.COM – Saya mendapatkan artikel ini di sebuah grup whatsapp, dari seorang trainer yang selama ini bergerak di bidang periklanan. Tetapi belakangan ia sering menjadi narasumber pada acara webinar Satupena dengan tema-tema yang kini dikuasai Generasi-Z, yaitu Artificial Intelligence (AI). Namanya Budiman Hakim atau lebih dikenal sebagai Ombud. Artikel ini juga tertulis “dari seorang teman”.
Artikel ini sengaja saya upload karena sangat menarik, sekaligus sebagai “peringatan” kalau tak ingin dibilang “ancaman” bagi profesi seorang dokter spesialis. Simaklah isi artikel ini.
“Dokter-dokter sedang mengalami guncangan besar! Pasien yang menggunakan DeepSeek sebelum menemui dokter kini menjadi tren baru.”
Apa yang terjadi di sebuah rumah sakit tersier di Hangzhou pada hari Jumat lalu telah menghebohkan seluruh komunitas medis.
Seorang programmer berusia 38 tahun, Lao Zhang, membawa laporan diagnosis dari DeepSeek dan memaksa direktur departemen pernapasan—yang telah berkarier selama 20 tahun—untuk langsung membuka “Pedoman Diagnosis dan Pengobatan” di hadapannya.
Ini sungguh di luar dugaan! Tidak ada yang menyangka bahwa profesi pertama yang tergeser oleh AI di bidang profesional ternyata adalah dokter.
Lao Zhang telah mengalami batuk selama tiga bulan tanpa perbaikan.
Ia sudah pergi dari klinik komunitas ke klinik spesialis, menghabiskan lebih dari selusin botol obat batuk, menjalani tiga kali CT scan, bahkan sampai dua kali dilakukan bronkoskopi.
Dokter kepala memeriksa hasil pemeriksaan dengan saksama di depan lampu pemindai dan berkata,
“Ini adalah hiperresponsivitas saluran napas yang khas, jadi sudah benar jika diterapi sebagai asma varian batuk.”
Tapi Lao Zhang menolak percaya.
Sebagai seorang programmer, ia langsung mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi DeepSeek Medical di tempat.
Hasil diagnosis AI dengan jelas menyebutkan “Batuk akibat refluks gastroesofagus”.
Saat itu, wajah sang direktur langsung berubah tegang.
Ia sudah sering menghadapi pasien yang suka membantah, tapi belum pernah melihat seseorang yang menggunakan AI untuk mendebat dokter.
Situasinya menjadi semakin panas.
Lao Zhang segera menunjukkan tujuh dasar diagnosis diferensial yang diberikan oleh AI, seperti batuk yang memburuk saat berbaring di malam hari, tidak memiliki pola musiman, dan merespons baik terhadap pengobatan antasida.
Sang direktur mulai berkeringat dingin.
Yang lebih mencengangkan, Lao Zhang benar-benar mengikuti saran AI, membeli omeprazole dengan uang sendiri, dan setelah tiga hari, batuk serta gejalanya benar-benar hilang.
Berita ini langsung menyebar di grup dokter.
Beberapa orang mencaci Lao Zhang sebagai varian baru dari pasien yang suka menyulitkan dokter, tapi lebih banyak dokter muda yang justru diam-diam mengunduh aplikasi AI.
Seorang dokter residen di rumah sakit tersier mengaku,
“Sekarang kalau saya menerima pasien rawat jalan, saya merasa tidak tenang kalau tidak ada AI di saku saya.
Terakhir kali ada pasien dengan ruam kulit, kalau bukan karena peringatan dari AI, saya hampir salah mendiagnosis herpes zoster sebagai eksim.”
Tapi masalah ini jauh lebih rumit.
Seorang direktur senior di departemen gastroenterologi bahkan sampai menggebrak meja dan berteriak:
“AI tidak tahu apa-apa tentang observasi langsung, mencium aroma, bertanya, dan meraba pasien!”
Sedangkan departemen pernapasan lebih fleksibel—mereka malah memasukkan AI sebagai bagian dari diskusi kasus-kasus sulit.
Yang paling mengejutkan, Departemen Urusan Medis langsung mengeluarkan peraturan yang melarang keras penggunaan AI medis pihak ketiga di klinik.
Namun, keesokan harinya seorang pasien malah mengajukan keluhan ke Komisi Kesehatan.
Setelah penyelidikan lebih dalam, ditemukan bahwa sistem AI ini telah dilatih menggunakan data dari hampir lima tahun jurnal medis inti global, bahkan termasuk suplemen dari New England Journal of Medicine.
Seorang dokter melakukan uji buta:
Hasilnya, AI benar dalam 17 dari 20 kasus sulit, sementara kelompok dokter ahli hanya benar dalam 12 kasus secara rata-rata.
Kini, banyak dokter muda yang mulai membawa tablet saat melakukan visite pasien—mereka menyebutnya sebagai “konsultasi berjalan”.
Saat jas putih bertemu dengan algoritma, tidak ada pemenang dalam pertarungan ini.
Batuk Lao Zhang memang sudah sembuh, tapi guncangan di dunia medis baru saja dimulai.
Lain kali saat kita pergi ke rumah sakit, menurutmu kita akan membuat janji dengan dokter spesialis dulu, atau bertanya ke AI lebih dulu?
Menurut saya, di zaman sekarang ini kita harus menguasai dua jenis pengobatan:
Ilmu Kedokteran di tangan kiri, dan DeepSeek di tangan kanan.
Kita tidak pernah tahu kapan AI akan benar-benar membuatkan kita janji dengan dokter spesialis. Semoga bermanfaat.
Ayoo belajar menggunakan DeepSeek atau AI. (*)