Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Buka Puasa di Angkasa

March 15, 2025 18:32
IMG-20250315-WA0121

Elza Peldi Taher

HATIPENA.COM – Di ketinggian lebih dari 30.000 kaki, Jumat 14 Maret 2025, dalam perjalanan dari Bandara Minangkabau menuju Jakarta, saya mengalami peristiwa yang luar biasa: berbuka puasa di atas angkasa. Ketika pesawat Garuda yang saya tumpangi take off pukul 17.15, saya masih bergelut dengan bayangan tentang berbuka puasa di antara awan, sesuatu yang mungkin, ratusan tahun lalu, terdengar seperti kisah para wali atau dongeng penjelajah langit.

Tepat pukul 18.15, pramugari mengumumkan bahwa waktu berbuka telah tiba. Segelas air putih dan makanan berbuka tersaji di hadapan saya. Saya melihat lewat jendela pesawat cakrawala yang masih menyala merah keemasan, seolah alam raya pun ikut merayakan momen ini. Dalam suapan pertama, saya merasa seakan-akan berada di antara dua dunia: bumi yang jauh di bawah, dan langit yang terasa begitu dekat.

Berbuka puasa dengan ketinggian ribuan kaki dari bumi, sambil menyaksikan alam raya yang luas, membuat saya sadar betapa kecilnya kita di hadapan semesta yang maha luas ini. Seperti butiran debu yang terapung dalam angin kosmik, manusia hanya setitik di tengah kebesaran jagat raya. Betapa indahnya alam semesta ciptaan Tuhan ini, seperti kanvas raksasa yang tak terbatas, terhampar tanpa batas dan penuh keajaiban. Keindahan itu menghadirkan getaran batin yang halus, seperti bisikan lembut dari langit, menyentuh relung terdalam jiwa dan membawa kesadaran spiritual yang kian kuat.

Di sini, di ketinggian yang jauh dari tanah, saya merasakan kedekatan yang mendalam dengan Sang Pencipta, yang tak terjangkau oleh logika, tetapi terasa nyata dalam setiap hembusan napas.

Bagaimana hukum berbuka puasa di udara? Dalam fiqh, waktu berbuka puasa ditentukan berdasarkan pengamatan matahari di tempat seseorang berada. Artinya, ketika seseorang masih berada di atas langit yang terang sementara di daratan telah memasuki waktu maghrib, ia harus menunggu hingga matahari benar-benar terbenam dari pandangan.

Para ulama sepakat bahwa mereka yang bepergian—baik dengan unta di padang pasir, kapal di lautan, maupun pesawat di angkasa—wajib mengikuti kaidah ini. Tapi bagaimana jika matahari seolah enggan tenggelam karena kecepatan pesawat? Inilah wilayah abu-abu yang tak dibayangkan oleh para fuqaha masa lalu, sebuah realitas modern yang menuntut kebijaksanaan dalam memahami hukum Tuhan.

Anggota Fatwa Dar al-Ifta Mesir, Syekh Ahmad Mamduh, menyampaikan bahwa waktu berbuka bagi musafir dengan pesawat adalah ketika ia sendiri melihat matahari terbenam. “Ketika terbenamnya matahari ini dilihat oleh mata musafir, maka itulah waktunya untuk berbuka puasa.”

Kru pesawat pasti sudah mengetahui hal ini sejak awal, dan mereka mengumumkan saat berbuka datang setelah membaca ketentuan berbuka di atas angkasa. Beragama, bagaimanapun, memerlukan tafsir yang lentur, seperti layar yang mengikuti arah angin, tergantung pada konteks yang terjadi. Langit yang menjadi atap perjalanan ini bukan hanya bentangan biru tanpa batas, tetapi juga kitab terbuka yang menunggu untuk dibaca dengan kebijaksanaan.

Agama akan selalu memerlukan tafsir baru, sebab ilmu pengetahuan terus melaju seperti angin yang tak bisa ditahan. Banyak perkembangan yang tak ada ketika ajaran agama turun kini menjadi kenyataan, menuntut pemahaman yang lebih luas dan terbuka. Mungkin suatu hari manusia akan tinggal di luar angkasa, di koloni-koloni di bulan atau planet lain. Jika itu terjadi, bagaimana mereka menentukan waktu berbuka, waktu shalat, atau arah kiblat?

Hal-hal seperti ini mungkin masih berada di ufuk tak kasat mata, namun bukan tak mungkin akan menjadi kenyataan di masa depan. Tafsir agama, seperti bintang di langit, harus senantiasa bersinar menerangi jalan, mengikuti pergerakan semesta yang tak pernah diam.

Dari perspektif tasawuf, pengalaman ini menyentak kesadaran saya. Betapa kecilnya manusia di hadapan semesta yang maha luas. Langit tempat saya berbuka bukan sekadar bentangan biru tak bertepi, melainkan tanda kebesaran Ilahi yang tak terjangkau akal. Dalam perjalanan ini, saya hanya seorang musafir yang diberi kesempatan sesaat untuk menyaksikan keagungan-Nya dari perspektif berbeda.

Barangkali inilah makna terdalam dari perjalanan spiritual: makin tinggi kita terbang, semakin kita menyadari betapa kecilnya diri, dan semakin kita tunduk dalam keagungan-Nya.

Pada pukul 19.05, pesawat mendarat mulus di Halim Perdanakusuma. Saya melangkah keluar dengan perasaan yang masih melayang. Momen berbuka di atas angkasa ini mengajarkan satu hal: di mana pun kita berada—di tanah, di laut, atau di angkasa—segala sesuatu tetap dalam genggaman Tuhan. Dan perjalanan hidup, sejatinya, adalah penerbangan panjang menuju-Nya.

Hidup ini sejatinya adalah sebuah perjalanan panjang. Kita telah berkelana melintasi lembah dan mendaki bukit, tetapi pada akhirnya, kita akan mendarat di rumah keabadian. Kapan kita tiba di sana, itu adalah rahasia Ilahi, misteri yang tak bisa dijangkau oleh pengetahuan manusia yang terbatas.

Seperti pesawat yang pada akhirnya menemukan landasan untuk berhenti, kita pun akan sampai pada tujuan akhir. Tidak ada yang bisa menghindari pendaratan terakhir itu. Yang bisa kita lakukan hanyalah memastikan bahwa sepanjang perjalanan ini, kita tetap berada di jalur yang benar, mengikuti cahaya yang membimbing kita pulang, menuju keabadian yang dijanjikan. (*)

Pondok Cabe Udik 15 Maret 2025