Catatan Paradoks: Wayan Suyadnya
HATIPENA.COM – Hari ini, 17 Mei, ditetapkan sebagai Hari Buku Nasional. Sebuah tanggal yang tak sekadar angka, namun penanda sejarah—mengenang peresmian Perpustakaan Nasional Republik Indonesia pada 17 Mei 2008.
Sementara dunia telah lebih dulu mengukuhkan 23 April sebagai Hari Buku Internasional, keduanya sejatinya memuliakan hal yang sama: buku, sumber pengetahuan, jembatan peradaban.
Karena ada buku, orang membaca. Karena membaca, orang menulis. Dari tulisan yang dibaca, orang mendengar. Dari mendengar, orang belajar bicara.
Dan dari sana, lahirlah tindakan. Semua berawal dari buku.
Buku yang baik memanggil jiwa untuk berkontemplasi dalam Tri Kaya Parisudha: berpikir yang baik, berkata yang baik, dan berbuat yang baik.
Inilah inti menjalani hidup. Bila telah melaksanakan Tri Kaya Parisudha, tak peduli apa agama, keyakinan, atau kepercayaan, hidup akan penuh ketentraman, aman dan damai.
Tak ada permusuhan. Vasudeva Kutumbakam—seluruh dunia adalah satu keluarga. Semua kita bersaudara.
Semua, sekali lagi, berawal dari buku. Dari lontar, dari kitab, dari tulisan yang ditinggalkan dengan ikhlas.
Para leluhur kita tak pernah memikirkan hak cipta yang dikenal sebagai HAKI. Mereka menulis di atas daun lontar, mencatat pemikiran dan ajaran, lalu menyimpannya sebagai warisan bersama.
Tak ada urusan ide dan gagasan dalam buku itu dipakai atau tidak. Tak ada kegelisahan bila gagasannya ditiru, bahkan dijadikan inspirasi.
Barangkali itu yang disebut ngayah—tulus ikhlas memberikan yang terbaik bagi semesta sebagaimana yang tadi pagi disampaikan senior saya, Jro Subaga.
Bagaikan guru sejati tanpa tanda jasa, para penulis buku di Bali pun hidup dalam semangat yang sama. Memberi, bukan menagih. Mengalirkan ilmu, bukan menahan.
Namun dunia terus berubah. Hari ini, hak cipta dan kekayaan intelektual menjadi perbincangan penting. Bukan soal uang, karena memang tak banyak penulis buku yang hidup dari royaltinya.
Tapi ini tentang jejak ilmu. Tentang riwayat pemikiran. Tentang hormat terhadap aguron-guron, relasi suci dalam transmisi ilmu yang amat dijunjung tinggi di Bali.
Dengan mencatat hak cipta, kita menandai dari mana aliran pengetahuan itu berasal, agar tak putus, agar tak kabur, agar tak kehilangan akarnya.
Di Bali, buku dimuliakan setiap 210 hari sekali dalam Hari Saraswati, hari turunnya ilmu pengetahuan. Jauh dibandingkan peringatan Hari Buku Internasional setiap 23 April, apalagi Hari Buku Nasional setiap 17 Mei.
Maka saat dunia melaju dalam arus digitalisasi, mari bertanya: apakah semua warisan itu akan kita titipkan pada server tak bernama? Siapa yang menjamin keberadaannya? Apa yang terjadi bila semua lenyap seketika?
Karena itu, buku—dalam bentuk fisik dan spiritualnya—tak tergantikan.
Setipis apa pun, ia menyimpan kedalaman. Ia memberikan makna pada perpustakaan.
Tanpa buku, perpustakaan hanya gedung kosong. Tanpa buku, ilmu kehilangan tempat berteduh.
Selamat Hari Buku Nasional. Mari muliakan buku. Muliakan ilmu. Muliakan para penulis dan guru-guru kita. Sebab semua, betapapun berubahnya dunia, tetap berawal dari buku. (*)
Denpasar, 17 Mei 2025