Seri 2: Tujuh Kerajaan Pesisir dan Warisan Leluhur
Mohammad Medani Bahagianda
(Dalom Putekha Jaya Makhga)
Tabik Pun!
HATIPENA.COM – Di tepi pantai Lampung, terdapat tujuh batu besar yang berjajar menghadap laut. Konon, batu-batu ini adalah perwujudan dari tujuh raja sakti yang bersumpah menjaga adat dan tanah pesisir selama dunia masih bernafas.
Alkisah, tujuh raja tersebut memimpin wilayah masing-masing: Babuk, Tungau, Khandau, Selegai, Hakhong, Belunguh, dan Nyekhupai. Mereka bukan hanya pemimpin, tapi juga penjaga nilai-nilai luhur: kejujuran, keadilan, keberanian, kesetiaan, keselarasan, kerendahan hati, dan pengabdian.
Pada malam purnama, masyarakat masih mendengar bisikan halus dari arah batu-batu itu—seperti nasihat leluhur kepada anak cucunya.
Legenda ini diwariskan turun-temurun, dan setiap anak pesisir diajarkan untuk tidak hanya melihat batu itu sebagai benda mati, tetapi sebagai penjaga warisan tak ternilai.
Budaya Lampung tidak hanya hidup dalam upacara dan pakaian adat, tetapi dalam sistem sosial yang tertanam kuat dalam masyarakat. Di kawasan pesisir, tujuh kebudayaan besar berakar dari kerajaan adat yang dahulu menguasai wilayah masing-masing.
Mereka dikenal sebagai Babuk, Tungau, Khandau, Selegai, Hakhong, Belunguh, dan Nyekhupai.
Kerajaan-kerajaan ini bukan sekadar penguasa teritorial. Mereka membentuk struktur nilai, menanamkan filosofi hidup, dan menjaga harmoni antara manusia, alam, dan leluhur.
Mereka juga menjadi fondasi terbentuknya identitas masyarakat Saibatin, kelompok adat utama di pesisir Lampung.
Babuk: Penjaga Kesucian dan Keadaban
Babuk dikenal sebagai pusat spiritual. Di sinilah banyak ritual adat digelar, mulai dari Tuwah Tuwah (penobatan adat) hingga Begawi Cakak Pepadun.
Raja Babuk dipandang sebagai penjaga kesucian dan kebersihan adat. Filosofinya menekankan:
• Keselarasan antara niat dan perbuatan.
• Kebersihan jiwa dalam memimpin dan melayani.
Rakyat Babuk dikenal ramah dan terbuka, menjunjung tinggi Piil Pesenggiri dan Nemui Nyimah. Tradisi memberi tamu makan sebelum berbicara masih dijaga hingga kini.
Tungau: Peradaban Laut dan Keterbukaan Budaya
Terletak di dekat pelabuhan alami, Tungau berkembang sebagai pusat perdagangan dan diplomasi. Para leluhurnya pandai berlayar, dan menjalin hubungan dagang dengan suku-suku dari Sumatra Selatan, bahkan bangsa asing.
Nilai utama masyarakat Tungau adalah:
• Keterbukaan terhadap perubahan.
• Keberanian mengeksplorasi dunia. baru tanpa meninggalkan akar adat.
Kini, masyarakat Tungau menjadi penggerak pelestarian budaya melalui festival maritim, tari Cangget Agung, dan dokumentasi sejarah pelayaran nenek moyang.
Khandau: Kebijaksanaan dalam Musyawarah
Kerajaan Khandau dikenal karena struktur musyawarah adatnya yang tertata. Mereka memiliki sistem pengambilan keputusan kolektif, yang hingga kini diterapkan dalam lembaga Kebandakhan dan Penyeimbang.
Filosofi mereka:
• Semua suara penting, semua. keputusan harus adil.
• Adat adalah tempat bertemunya kata dan kehendak rakyat.
Generasi muda Khandau kini aktif dalam komunitas pemuda adat, mempraktikkan musyawarah adat dalam penyelesaian konflik modern, seperti sengketa lahan dan tata ruang.
Selegai: Marga Perantau dan Pewaris Keuletan
Selegai adalah simbol kekuatan adaptasi. Mereka memilih merantau ke pedalaman, membawa nilai adat pesisir ke darat. Meski secara geografis mereka berpindah, nilai-nilai tetap hidup:
• Kesetiaan pada akar meski tumbuh di tanah baru.
• Keuletan dalam menghadapi tantangan hidup.
Kini, Selegai menjadi jembatan antara budaya pesisir dan pedalaman. Mereka mengajarkan pentingnya menjaga adat di tengah perubahan sosial dan globalisasi.
Hakhong: Penjaga Hukum dan Kesetaraan
Hakhong diyakini sebagai tempat lahirnya aturan adat tertulis pertama di pesisir. Hukum-hukum adat di sini menyentuh segala aspek: warisan, perkawinan, tanah ulayat, hingga perlindungan perempuan.
Nilai luhur mereka adalah:
• Keadilan sosial.
• Keteraturan sebagai pangkal kesejahteraan.
Sampai kini, sistem Penghulu Adat di Hakhong masih aktif memediasi konflik masyarakat. Mereka menjadi rujukan dalam pelestarian hukum adat di era hukum nasional.
Belunguh: Kebudayaan Seni dan Keselarasan Alam
Belunguh terkenal dengan kekayaan seni: musik gamelan Lampung, sastra lisan Hiwang, dan kerajinan tapis. Alam di wilayah ini dijaga ketat oleh hukum adat, seperti larangan menebang pohon tertentu atau menangkap ikan saat bulan mati.
Filosofinya:
• Kehidupan yang selaras dengan irama alam.
• Seni sebagai media pendidikan moral dan spiritual.
Anak-anak Belunguh sejak kecil diajarkan menari dan menulis puisi dalam bahasa Lampung. Kini, seni Belunguh mulai masuk kurikulum lokal dan ditampilkan dalam even nasional.
Nyekhupai: Filosofi Hijrah dan Pengembangan Diri
Seperti Selegai, Nyekhupai juga merantau. Namun, mereka membawa nilai pengembangan diri secara spiritual. Mereka mengembangkan madrasah adat dan pesantren budaya.
Nilai utama:
• Hijrah sebagai jalan mengenal diri dan memperluas adat.
• Adat dan agama berjalan beriringan
Saat ini, diaspora Nyekhupai banyak tersebar di Lampung Tengah dan Sukadana. Mereka menjadi pengajar, budayawan, dan tokoh masyarakat yang menjembatani nilai adat dan pendidikan formal.
Tujuh kerajaan ini merepresentasikan wajah utuh masyarakat pesisir: spiritual, rasional, adaptif, dan berseni.
Nilai-nilai utama mereka bisa dirangkum sebagai berikut:
Kerajaan Nilai Utama Relevansi Modern.
Babuk Kesucian dan kepemimpinan Etika pemerintahan dan keteladanan moral.
Tungau Keterbukaan dan dagang Ekonomi kreatif berbasis lokal.
Khandau Musyawarah dan demokrasi Solusi konflik dan tata kelola.
Selegai Ketahanan dan diaspora. Adaptasi global dan identitas lokal.
Hakhong Keadilan dan hukum adat. Reformasi hukum berbasis kearifan lokal.
Belunguh Seni dan ekologi Pendidikan seni dan konservasi alam.
Nyekhupai Hijrah dan pendidikan adat. Harmoni agama dan budaya lokal.
Ketujuh kerajaan pesisir tidak hanya mewariskan struktur sosial, tetapi juga filosofi hidup. Dalam dunia yang berubah cepat, nilai-nilai ini menjadi kompas moral.
Adat bukan penghalang kemajuan, melainkan fondasi bagi pembangunan berkelanjutan yang bermartabat.
Penting bagi generasi kini dan mendatang untuk:
• Memahami asal-usul budaya lokal.
• Mengintegrasikan nilai adat dalam. pendidikan dan kebijakan publik.
• Mengarsipkan dan mendigitalisasi warisan budaya.
Seperti batu-batu sakral di tepi laut, warisan tujuh kerajaan ini adalah penanda waktu, penunjuk arah, dan penjaga jati diri Lampung. (*)