HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Buku Seri – Asal Muasal Marga Way Lima Kabupaten Pesawaran

July 30, 2025 09:17
IMG-20250729-WA0017

Seri 3: Marga Way Lima, Struktur Sosial dan Identitas Adat

Mohammad Medani Bahagianda
(Dalom Putekha Jaya Makhga)


Tabik Pun!

HATIPENA.COM – Dahulu kala, di kaki Gunung Pesagi yang senyap dan tenang, tumbuhlah sebatang pohon tua yang menjulang ke langit. Pohon itu dikenal oleh warga sebagai Pohon Punyimbang. Ia tak seperti pohon lainnya, karena konon akarnya menjalar ke tujuh arah, mencengkeram bumi dengan kekuatan tujuh kerajaan adat.

Daunnya rimbun, daunnya tujuh warna, mencerminkan saudara-saudara pesisir yang tinggal di sekitar Way Lima.

Suatu ketika, langit mendung selama tujuh hari tujuh malam. Air hujan mengguyur, sungai meluap, dan masyarakat di kaki gunung gelisah. Mereka berkumpul di bawah Pohon Punyimbang untuk meminta petunjuk.

Lalu dari batang pohon itu terdengar suara: “Anakku, pecahlah dirimu menjadi marga-marga. Bentuklah kebandakhan, tegakkan adat, dan hiduplah dalam keseimbangan.”
Maka terbentuklah Marga Way Lima. Dari satu akar, tumbuh tiga cabang utama: Seputih, Sebadak, dan Selimau. Masing-masing membawa nilai-nilai luhur, membentuk struktur sosial dan identitas yang kemudian dikenal sebagai fondasi masyarakat adat Lampung Pesisir.

Masyarakat adat Lampung menyimpan kekayaan budaya yang diwariskan turun-temurun, salah satunya melalui struktur sosial berbasis marga. Dalam konteks Way Lima, struktur sosial ini bukan sekadar pembagian genealogis atau teritorial, melainkan mengandung nilai-nilai spiritual, etika sosial, dan filosofi hidup yang mendalam. Marga Way Lima terbentuk dari sejarah panjang migrasi, adaptasi, dan konsolidasi kebudayaan yang kini menjadi bagian integral dari identitas Lampung Pesisir.

Tulisan ini akan membahas secara analitis dan historis mengenai struktur sosial dan kebandakhan Way Lima, mencakup asal-usul marganya, nilai-nilai adat yang dikandungnya, dan peran vital mereka dalam menjaga kesinambungan adat di tengah arus perubahan zaman.

Secara struktural, Marga Way Lima terdiri dari beberapa bagian utama:
A. Seputih – Pilar Utama Way Lima
Seputih merupakan marga tertua yang membentuk jantung dari Way Lima. Seiring waktu, Seputih terbagi menjadi dua kekuatan:

  1. KPSW (Kerukunan Punyimbang Seputih Way Lima)
  2. KPMPW (Kesatuan Punyimbang Marga Putih Way Lima)
    Masing-masing menjaga adat secara kolektif, dan menjadi penyambung antara lembaga adat dan masyarakat umum.

B. Sebadak – Kebandakhan yang Tegas dan Bijak
Marga Sebadak dikenal sebagai pemegang mandat kebijakan dan keseimbangan. Mereka menjaga tatanan hukum adat dan menjadi pemutus dalam musyawarah besar. Kekuatan mereka terletak pada konsensus dan perwakilan adat dalam setiap keputusan.

C. Selimau – Penjaga Tradisi dan Kearifan Leluhur
Selimau dibagi menjadi:

  1. ISTIBATOKH (Ikatan Saibatin Babok Tungau Khandau)
  2. Bandakh Mal Selimau Makhga Way Lima
    Selimau merupakan simbol pemersatu dari tiga kerajaan adat besar: Babok, Tungau, dan Khandau. Ikatan ini bukan hanya simbolik, tetapi fungsional dalam menjaga warisan ritual, musik, tari, hingga naskah-naskah adat lisan.

Struktur marga bukanlah sistem yang statis, melainkan sistem hidup yang terus berfungsi dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa fungsi pentingnya:

  1. Penjaga Piil Pesenggiri: Setiap marga memiliki kewajiban untuk menanamkan nilai-nilai seperti harga diri, sopan santun, dan saling menghormati.
  2. Mediator Sosial: Dalam konflik antar keluarga atau kampung, lembaga marga menjadi penengah dan perumus penyelesaian yang adil dan adatiah.
  3. Penentu Warisan Adat: Penurunan gelar, pembagian harta warisan, dan tata cara adat pernikahan semua berada dalam pengawasan struktur marga.

Adat Way Lima menjunjung tinggi nilai spiritual yang membumi. Filosofinya berakar pada keseimbangan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan leluhur:

  1. Tiga Lapisan Harmoni:
    a. Batang (individu),
    b. Rumpun (keluarga),
    c. Marga (masyarakat adat).

Ketiga lapisan ini harus berjalan harmonis agar kehidupan tetap seimbang. Spiritualitas adat Way Lima tidak terlepas dari rasa hormat kepada leluhur, alam, dan masyarakat sekitarnya.

Beberapa praktik adat yang tetap eksis di kalangan Marga Way Lima:

  1. Ngukui Adat: Upacara pemberian gelar adat yang masih dijalankan dengan khidmat.
  2. Muakhi: Tradisi mempererat persaudaraan secara adat.
  3. Ngejalang: Ritual untuk menjaga hubungan baik antar marga dan kampung.

Praktik ini bukan hanya peristiwa seremonial, tetapi juga medium pendidikan nilai untuk generasi muda.

Masyarakat adat Way Lima kini menghadapi tantangan besar:

  1. Urbanisasi,
  2. Perkawinan campuran,
  3. Berkurangnya pemahaman generasi muda terhadap adat.

Namun, banyak tokoh adat dan generasi muda mulai menghidupkan kembali praktik adat melalui:

  1. Sekolah adat,
  2. Festival budaya,
  3. Digitalisasi dokumen adat.
    Upaya ini menjadi strategi kultural untuk menjembatani adat dan modernitas.

Sebagaimana dalam kisah Pohon Punyimbang, kekuatan masyarakat adat Way Lima bersumber dari akarnya yang kuat: marga. Melalui struktur sosial dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, adat Way Lima terus hidup dan menyatu dalam denyut nadi masyarakatnya.

Pelestarian adat bukan sekadar mempertahankan simbol atau upacara, tetapi menjaga cara pandang hidup yang menempatkan harmoni, kehormatan, dan kebersamaan sebagai nilai tertinggi. Dan selama akar itu masih tertanam, adat Way Lima akan terus tumbuh, meski zaman berubah. (*)