Oleh Khudori
HATIPENA.COM – Hari-hari ini petani di sejumlah daerah dilaporkan murung. Panen padi yang mestinya disambut dengan suka ria justru berbuah kecewa. Pasalnya, gabah kering panen (GKP) hanya ditawar tengkulak di bawah Rp6.000/kg, bahkan lebih rendah. Bulog yang menjadi tumpuan terakhir petani justru membatasi, bahkan menghentikan pembelian gabah.
Dari sejumlah pemberitaan, pembatasan, bahkan penghentian pembelian, gabah itu terjadi di Nganjuk, Jawa Timur; Klaten, Jawa Tengah; dan di Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Akibat lambannya Bulog menyerap gabah petani di Kalimantan Selatan malah berujung pencopotan Pimpinan Wilayah Bulog setempat. Ini terjadi setelah Menteri Pertanian Amran Sulaiman berkunjung ke sana dan mendapati keluhan petani.
Amat mungkin penghentian pembelian gabah petani oleh Bulog terjadi di wilayah lain tapi tidak diwartakan oleh media. Saat ini di sejumlah daerah antrean truk yang mengirim beras ke gudang Bulog mengular. Seiring berjalannya waktu, termasuk kian dekatnya puncak panen akhir di Maret dan April 2025 nanti, situasi ini potensial meluas ke berbagai daerah produksi padi apabila tidak ada koreksi kebijakan segera.
Situasi ini muncul dan terjadi bukan semata-mata masalah teknis, tetapi lebih karena kebijakan yang salah. Kebijakan itu tertuang pada Keputusan Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) No. 14 Tahun 2025 tentang Harga Pembelian Pemerintah (HPP) dan Rafaksi Harga Gabah dan Beras pada 24 Januari 2025. Regulasi ini mengubah Keputusan Kepala Bapanas No. 2/2025 tentang hal yang sama yang terbit 12 Januari 2025.
Keputusan Kepala Bapanas No. 14/2025 itu mencabut Lampiran I A dan Lampiran II di Keputusan Kepala Bapanas No 2/2025. Implikasinya HPP gabah hanya untuk GKP di petani sebesar Rp6.500/kg. Tidak ada syarat kualitas seperti sebelumnya (maksimal kadar air 25% dan kadar hampa 10%). Tak diatur pembelian GKP di penggilingan dan di Bulog, juga tak diatur pembelian gabah kering giling (GKG). Rafaksi harga gabah dihapus. Pembelian beras di gudang Bulog tetap Rp12.000/kg dengan syarat derajat sosoh minimal 100% serta maksimal kadar air 14%, butir patah 25%, dan butir menir 2%.
Di mana salahnya? Ya di regulasi yang menghilangkan syarat kualitas dan rafaksi harga gabah. Di mana-mana berlaku kaidah ‘ada barang ada harga’ alias barang dihargai atas kualitasnya. Gabah di bawah standar kualitas akan dihargai lebih rendah dari harga patokan. Di situ berlaku rafaksi harga. Kalau GKP di petani tidak lagi ada syarat kualitas berarti gabah basah karena padi dipanen saat banjir atau saat hujan harus dibeli Rp6.500/kg. Padahal, kadar air gabah bisa lebih 35%.
Di sisi lain, regulasi itu juga secara implisit mengatur bahwa gabah petani yang kualitasnya bagus dibeli Rp6.500/kg. Di mana keadilan? Bukankah ini tidak mendidik petani. Walaupun yang terjadi di lapangan gabah yang baik tentu akan diganjar harga baik. Masalahnya, karena celah regulasi, amat terbuka muncul perilaku aji mumpung: memanen padi sebelum waktunya. Atau membasahi gabah dengan air agar timbangannya naik. Gabah bertunas karena basah berhari-hari pun dijual ke Bulog.
Perilaku aji mumpung tidak selalu dilakukan petani. Bisa juga pihak lain yang menjual gabah ke Bulog. Bagi Bulog, betapa rumitnya menangani gabah aneka kualitas itu. Idealnya gabah dikelompokan berdasarkan kualitas. Masalahnya, kalau volume gabah demikian besar ini tidak mudah. Belum lagi dihadapkan pada keterbatasan, bahkan ketiadaan, pengering (dryer). Bulog memang memiliki sentra penggilingan padi dan pengolahan beras di 17 lokasi. Tapi fasilitas pengeringnya masih kecil.
Di sisi lain, tidak semua penggilingan padi swasta memiliki dryer. Penggilingan padi kecil selama ini mengandalkan lantai jemur untuk mengeringkan gabah. Kalau musim hujan atau mendung tentu sulit menangani gabah basah. Sebagian dryer milik swasta sudah dimanfaatkan Bulog. Hari-hari ini serapan harian Bulog mencapai 20 ribu hingga 25 ribu ton setara beras. Sepertinya inilah kemampuan dryer yang ada. Memperbesar serapan berpotensi risiko: gabah tidak tertangani baik dan mutunya akan turun.
Sampai sekarang belum ada data jumlah dryer padi berikut kapasitasnya. Kalau dryer terbatas sementara panen melimpah, bagaimana memastikan gabah basah atau di bawah kualitas standar tidak turun mutu dan rusak? Belum lagi bicara bagaimana kualitas beras dari gabah basah atau di bawah kualitas. Penemuan beras ada kutu saja sudah heboh, apalagi jika nanti terjadi beras turun mutu. Siapa yang bertanggung jawab? Bulog hanya operator. Jika kebijakan salah, apakah operator harus disalahkan?
Sampai 21 Maret 2025 penyerapan Bulog mencapai 473-an ribu ton setara beras. Dari jumlah itu 80% berbentuk gabah. Ini tidak pernah terjadi sejak Bulog berdiri pada 1967. Selama ini penyerapan Bulog 80% berbentuk beras, 20% sisanya berwujud gabah. Itu pun bukan GKP, tapi GKG yang sudah siap giling dan tidak perlu dikeringkan.
Sampai saat ini ada pandangan yang salah di tengah masyarakat yang terus dipelihara bahwa kalau Bulog membeli gabah petani akan untung. Sebaliknya, kalau Bulog membeli beras pedagang/penggilingan yang untung. Alasannya, karena petani tidak menjual atau memiliki beras, tapi gabah. Karena pandangan ini, kebijakan yang dibuat bias ke gabah, seperti di Keputusan Kepala Bapanas No. 14/2025 tersebut.
Padahal, yang sangat penting adalah bagaimana Bulog dapat menyerap dan melakukan pengadaan secara cepat pada saat panen dalam bentuk beras atau gabah. Penyerapan beras akan lebih cepat karena tahapan pengolahannya tidak harus melalui GKP ke GKG dengan kadar air 14%, dan kemudian GKG ke beras. Tetapi bisa langsung dari GKP yang diproses menjadi gabah kering sekitar kadar air 15% langsung menjadi beras standar kadar air 14%. Semakin cepat penyerapan beras oleh Bulog semakin cepat penyerapan gabah dari mitra ke petani. Dengan demikian harga gabah juga akan lebih terangkat.
Dengan infrastruktur Bulog saat ini dan ketersediaan dryer milik penggilingan, menyerap beras lebih cepat dari menyerap gabah. Mitra Bulug lebih cepat mengolah gabah langsung ke beras. Ketika Bulog menyerap beras dengan cepat, mitra pengadaan akan menyerap gabah petani lebih cepat. Harga gabah lebih terjaga karena suplai gabah saat panen bisa langsung terserap pasar yang dihasilkan dari serapan beras Bulog. Meskipun margin kecil, jika perputaran stok cepat pelaku usaha tetap untung.
Masalahnya, harga pembelian beras di Bulog sebesar Rp12.000/kg tidak menarik bagi penggilingan. Menjual beras dengan harga sebesar itu dengan HPP Rp6.500/kg GKP dan rendemen sekitar 50-an persen hampir dipastikan merugi. Inilah alasan mengapa pengadaan Bulog berbentuk beras saat ini rendah. Mayoritas berwujud gabah. Karena Bulog wr di tidak memiliki jejaring hingga ke petani di berbagai daerah, penyerapan gabah dilakukan melalui mitra penggilingan padi dengan sistem maklon atau jual jasa.
Caranya, penggilingan (terutama yang tergabung di Perpadi) membeli gabah petani Rp6.500/kg, ongkos kirim ke penggilingan Rp200/kg, gabah dikeringkan lalu digiling jadi beras. Dengan jasa maklon Rp700/kg dan rendemen 50%, harga beras mencapai Rp14.800/kg. Itu pun belum tentu bisa memenuhi kualitas derajat sosoh 100%, dan maksimal kadar air, butir patah dan menir masing-masing sebesar 14%, 25% dan 2%.
Ada perbedaan harga beras sekitar Rp2.800/kg, bahkan bisa lebih, antara penyerapan gabah melalui maklon dan penyerapan beras. Bagaimana Bulog mempertanggungjawabkan hal ini? Bisa saja ini disiasati dengan membuat berita acara dalam setiap transaksi sebagai bagian prinsip akuntabilitas. Akan tetapi, selain rumit bagi Bulog, ini juga tetap membuka perilaku moral hazard. Bagaimana memastikan tidak ada karyawan Bulog yang masuk penjara jika di kemudian hari masalah ini dipersoalkan dari sisi hukum?
Jika pun segala sesuatunya tidak ada masalah, ada konsekuensi yang harus ditanggung pemerintah dalam bentuk harga beras yang lebih mahal karena pengadaan lewat penyerapan gabah. Katakanlah pengadaan beras tercapai separuh dari target 3 juta ton dan 80% berasal dari penyerapan gabah berarti perlu tambahan duit Rp3,36 triliun (1,2 juta ton beras x Rp2.800/kg). Sebaliknya, kalau harga pembelian beras di gudang BULOG dinaikkan dari Rp12.000/kg jadi Rp13.000/kg hanya perlu tambahan dana Rp1,2 triliun (1,2 juta ton beras x Rp1.000/kg). Ada perbedaan Rp2,16 triliun.
Kebijakan mewajibkan membeli gabah petani Rp6.500/kg apapun kualitasnya tentu menguntungkan petani. Tetapi kebijakan ini menyulitkan penggilingan, pedagang beras, dan Bulog. Apalagi, sampai saat ini harga eceran tertinggi (HET) beras juga belum ada tanda-tanda disesuaikan. Gabah adalah input atau bahan baku beras. Kalau HPP gabah dinaikkan berarti ongkos bahan baku membuat beras menjadi naik. Karena itu amat tidak masuk akal HET beras tidak disesuaikan ketika HPP gabah naik.
Agar situasi tidak semakin memburuk seiring puncak panen, perlu segera langkah koreksi kebijakan. Apa saja? Pembelian gabah dengan HPP harus kembali dilengkapi syarat kualitas, juga ada rafaksi harga gabah. Harga pembelian beras di Bulog juga harus disesuaikan, setidaknya menjadi Rp13.000/kg. Dengan cara ini harapannya Bulog bisa memenuhi target penyerapan setidaknya setengah dari target 3 juta ton beras.
Terakhir, pemerintah juga perlu menyesuaikan HET beras yang berlaku saat ini. Dengan aneka koreksi kebijakan ini, diharapkan masalah penyerapan di lapangan segera mendapatkan jalan keluar. Dalam jangka menengah, perlu segera dibangun dryer yang memadai sekaligus merevitalisasi penggilingan padi kecil lengkap dengan dryer-nya.
Bekasi, 22 Maret 2025
Referensi:
- https://portaljtv.com/news/petani-nganjuk-kecewa-bulog-tolak-beli-gabah-hasil-panen?biro=portal-jtv
- https://www.tvonenews.com/daerah/jatim/312232-petani-padi-di-nganjuk-kecewa-bulog-tak-mau-beli-gabah-hasil-panen?page=2
- https://banjarmasin.tribunnews.com/2025/03/19/polemik-pencopotan-kepala-bulog-kalsel-pegawai-penyerapan-gabah-sudah-dilakukan
- https://mediaindonesia.com/nusantara/753474/tidak-optimal-serap-gabah-kepala-kanwil-bulog-kalsel-dicopot
- https://regional.kompas.com/read/2025/03/19/131651478/mentan-amran-saya-kecewa-petani-tunggu-di-sawah-bulog-malah-di-gudang