Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
HATIPENA.COM – Pagi di Jalan Hijaz Pontianak terasa hangat. Matahari bahkan belum sempat garuk-garuk awan, tapi warung kopi sudah penuh sesak kayak antrean minyak goreng zaman Bahlul.
Di pojok warung, dua makhluk pensiunan yang masih berkeliaran di dunia fana, Wak Dalek dan Wan Dollah, sedang menatap kopi mereka seolah di dalam cangkir itu tersembunyi bocoran rahasia negara.
“Wan,” bisik Wak Dalek, suara sumbang seperti pintu berkarat ditiup angin, “Kau dengar tak? Kantor PU Mempawah digeledah KPK!”
Wan Dollah yang sudah meletakkan dua batang gigi palsunya di atas piring, terkikik kecil. “Digeledah? Pasti jumpa harta karun. Aku yakin dalam laci pejabat ada peta harta, ada password Bitcoin, ada cincin Thanos!”
Mereka berdua terbahak sampai urat nadi di leher menari salsa.
Konon, penggeledahan itu membuat seluruh pejabat Kalbar langsung mengalami mass insomnia. Ada yang minum lima termos teh poci tetap matanya melotot macam ular kobra nonton drama Korea. Ada juga yang saking stresnya, tiba-tiba mendeklarasikan diri sebagai biksu dan bersumpah hidup suci, minimal sampai KPK pulang.
“Kalau aku jadi pejabat situ,” lanjut Wan Dollah sambil menyeruput kopi setengah napas, “malam ini aku gali lubang tanam brankas di halaman. Tulis besar-besar: ‘Ini Sumur Nenek Moyangku, Jangan Diganggu!'”
Wak Dalek ngakak sampai kursinya miring. Seorang ibu di meja sebelah mengangkat alis, curiga ada jin gentayangan.
“Belum lagi rumah dinas mereka Wan,” tambah Wak Dalek, “rumah dinas sekarang macam museum harta nasional! Ada kulkas isinya duit, lemari isinya perhiasan, bahkan katanya ada dispenser yang kalau dipencet keluar sertifikat tanah!”
Wan Dollah menepuk paha. “Dulu kita kira dispenser cuma bisa ngeluarin air. Salah kita, Dalek! Salah besar!”
Keduanya kemudian terdiam sesaat, membayangkan dunia di mana setiap alat rumah tangga bisa memuntahkan aset haram.
Tiba-tiba Wak Dalek berkata penuh wibawa, “Wan, aku rasa, kita perlu syukuri nasib kita pensiun tanpa korupsi. Walaupun dulu gaji kecil, tapi tidur tetap pulas, kentut tetap merdu.”
Wan Dollah mengangguk penuh semangat, gigi palsunya hampir meloncat ke dalam kopi. “Benar. Harta boleh tidak ada, tapi ketenangan batin tak bisa dibeli dengan lembaran rupiah bau lem.”
Saat itu, langit Pontianak mulai terang. Cahaya jingga memantul di genangan air jalanan yang penuh lubang, mungkin dulunya proyek PU juga, pikir mereka sinis.
Di kejauhan, sirine mobil KPK terdengar. Semua orang di warung otomatis mengecilkan suara. Seorang bapak buru-buru menyembunyikan dompetnya di kaos kaki, padahal dia cuma jualan ikan asin.
Wak Dalek berbisik ke Wan Dollah, “Kalau mereka ke sini, jangan-jangan disita juga kopi kita.”
Wan Dollah tersenyum kalem. “Tak apa, Dalek. Kalau mau disita, sekalian aja bawa hutang-hutang kita.”
Mereka tertawa keras, menyadari satu kebenaran,
di dunia absurd ini, kadang cuma orang miskin yang bisa ketawa paling keras, karena tak ada yang bisa dirampas selain tawa itu sendiri. (*)
#camanewak