Oleh: Ali Samudra
HATIPENA.COM – Perekonomian Indonesia saat ini berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Deflasi yang melanda sejak awal tahun 2025 tidak hanya menurunkan harga barang dan jasa, tetapi juga menciptakan stagnasi aktivitas ekonomi yang berbahaya. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa inflasi tercatat minus 0,8 persen pada kuartal pertama 2025, sementara konsumsi rumah tangga turun 3,1 persen dan investasi merosot hingga 4,5 persen. Kondisi ini mengindikasikan bahwa Indonesia sedang bergerak menuju resesi sebuah skenario yang menuntut perhatian serius dari pemerintah dan pelaku usaha.
Deflasi: Ancaman Nyata bagi Perekonomian
Deflasi bukan sekadar soal turunnya harga, tetapi menciptakan efek domino yang melumpuhkan perekonomian. Ketika harga barang terus turun, dunia usaha menahan produksi, investor menarik dananya, dan masyarakat menunda konsumsi. Berikut dampak dari adanya deflasi:
Daya Beli yang Tertekan
Data menunjukkan bahwa konsumsi rumah tangga, yang berkontribusi lebih dari separuh terhadap PDB, mengalami penurunan signifikan. Sektor makanan dan minuman hanya tumbuh 1,2 persen dibandingkan pertumbuhan 4,6 persen pada periode yang sama tahun sebelumnya. Fenomena ini menandakan kekhawatiran masyarakat terhadap masa depan ekonomi.
Investasi yang Tertahan
Penurunan investasi sebesar 4,5 persen mencerminkan keraguan investor terhadap prospek bisnis di Indonesia. Ketidakpastian pasar, ditambah kebijakan pemerintah yang cenderung berubah-ubah, membuat investor memilih untuk menahan ekspansi atau bahkan menarik dana mereka.
Penerimaan Pajak yang Merosot
Data terbaru dari Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa penerimaan pajak hingga kuartal pertama 2025 hanya mencapai 75 persen dari target, atau turun 12 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan ini berbahaya karena mempersempit ruang fiskal pemerintah untuk membiayai program pemulihan ekonomi.
Sektor Komoditas yang Lesu
Sebagai negara yang bergantung pada ekspor komoditas, Indonesia menghadapi tekanan berat akibat anjloknya harga minyak sawit (CPO) dan batu bara yang masing-masing turun 12 persen dan 18 persen pada kuartal pertama 2025. Dampaknya sangat terasa di daerah-daerah penghasil komoditas yang mengandalkan sektor ini sebagai tulang punggung ekonomi lokal.
Tekanan Utang yang Mengkhawatirkan
Posisi utang pemerintah yang mencapai Rp8.200 triliun dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 45 persen menimbulkan kekhawatiran akan kemampuan negara membiayai program pemulihan ekonomi secara berkelanjutan.
Resesi: Ancaman yang Nyata di Depan Mata
Jika deflasi ini terus berlanjut, dampaknya bisa makin luas dan menciptakan:
Lonjakan Pengangguran: Data mencatat tingkat pengangguran terbuka meningkat ke angka 6,4 persen pada awal 2025, naik dari 5,8 persen di tahun sebelumnya.
Merosotnya Penerimaan Pajak: Penurunan aktivitas bisnis otomatis menurunkan penerimaan pajak, yang berakibat pada defisit anggaran yang semakin melebar.
Guncangan pada Sektor UMKM: Sebanyak 15 persen UMKM dilaporkan gulung tikar dalam tiga bulan terakhir karena penurunan permintaan yang tajam.
Danantara: Solusi yang Diragukan
Sebagai upaya menstabilkan ekonomi, pemerintah meluncurkan Danantara, sebuah lembaga pengelola dana kekayaan negara yang diharapkan bisa berfungsi layaknya Temasek di Singapura. Namun, optimisme ini tidak sepenuhnya beralasan. Berikut beberapa permasalahan terkait pembentukan Danantara
Sumber Dana yang Berisiko
Danantara didanai dari aset BUMN strategis seperti PT Pertamina, PT PLN, dan PT Telkom. Menggunakan dana BUMN untuk membiayai investasi berisiko menimbulkan masalah baru jika pengelolaannya tidak transparan dan akuntabel.
Program ini mengingatkan pada kasus 1MDB yang mengguncang Malaysia pada tahun 2015. Skema serupa yang awalnya dimaksudkan untuk menarik investor global justru berujung pada skandal korupsi besar-besaran yang merugikan negara hingga miliaran dolar. Jika Danantara tidak dikawal secara ketat, Indonesia bisa menghadapi ancaman yang sama.
Risiko Korupsi di Tengah Penegakan Hukum yang Lemah
Indonesia saat ini belum menunjukkan langkah serius dalam pemberantasan korupsi, terutama di sektor pemerintahan dan BUMN. Tanpa pengawasan yang ketat, Dana Danantara berpotensi menjadi celah baru bagi praktik korupsi yang merugikan negara.
Indeks Persepsi Korupsi Indonesia ditahun 2024 mengalami peningkatan, menjadi 37/100, dari skor sebelumnya 34/100 ditahun 2023, naik 3 point. Meskipun ada peningkatan dari tahun sebelumnya, Indonesia masih berada dalam kategori: Negara dengan tingkat korupsi yang tinggi.
Pertumbuhan Ekonomi 8 persen: Mimpi yang Tidak Realistis
Target pertumbuhan ekonomi 8 persen yang dicanangkan pemerintah dianggap tidak realistis. Para ekonom dari Universitas Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2025 hanya akan berkisar 3-4 persen. Dengan kondisi daya beli yang menurun, penurunan investasi, dan gejolak pasar global, target tersebut dinilai jauh dari kenyataan.
Langkah Strategis yang Diperlukan
Untuk menghindari resesi yang lebih parah, pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan Danantara. Langkah-langkah berikut ini perlu segera dilakukan:
Reformasi Kebijakan Fiskal: Pemerintah harus memperluas insentif pajak bagi dunia usaha, terutama sektor UMKM yang paling terdampak.
Stimulus Ekonomi yang Tepat Sasaran: Fokuskan bantuan langsung tunai dan program padat karya untuk meningkatkan daya beli masyarakat.
Reformasi BUMN: Pembenahan manajemen BUMN harus menjadi prioritas agar tidak terbebani risiko finansial akibat pengalihan dana ke Danantara.
Penurunan Suku Bunga: Bank Indonesia perlu menurunkan suku bunga untuk mendorong pinjaman dan konsumsi masyarakat.
Ancaman Resesi yang Mengintai
Perekonomian Indonesia saat ini berada di persimpangan jalan yang genting. Ancaman deflasi yang berlanjut berpotensi menyeret negara ke jurang resesi jika tidak segera ditangani dengan kebijakan yang tepat. Di sisi lain, program Danantara yang digadang-gadang sebagai solusi justru menimbulkan kekhawatiran baru karena potensi risiko dan kemiripannya dengan skandal 1MDB di Malaysia.
Dengan penanganan korupsi yang belum maksimal dan target pertumbuhan ekonomi 8 persen yang dinilai tidak realistis, pemerintah harus segera berfokus pada langkah-langkah kongkrit untuk membangkitkan daya beli masyarakat, menarik investasi yang sehat dan memastikan stabilitas sektor riil. Tanpa langkah strategis ini, Indonesia berisiko menghadapi pukulan ekonomi yang lebih berat pada tahun-tahun mendatang. (*)
Jakarta, 24 Maret 2025