Catatan Cak AT
HATIPENA.COM – Di sebuah negeri tropis yang jauh dari La Mancha, tempat legenda Don Quixote lahir, seorang sastrawan dan wartawan kawakan, Goenawan Mohamad, membuktikan bahwa sejarah selalu berpihak pada para pejuang kebenaran. Baik di Indonesia maupun di Spanyol —tanah Cervantes dan tokoh ksatria pengembaranya —semangat perlawanan tetap menyala.
Kali ini, Raja Spanyol menganugerahkan penghargaan Official Cross of the Order of Isabel la Católica kepada GM, pria yang oleh sebagian orang mungkin dilihat memiliki sedikit kesamaan dengan ksatria pengembara dari abad ke-17 itu. Selamat, Mas GM —sebutan akrab kami, para wartawan Tempo, kepadanya.
Barangkali Raja Spanyol Felipe VI membaca Catatan Pinggir dan menemukan esai-esai GM sebagai pertarungan tanpa henti melawan angin puyuh ketidakadilan. Atau mungkin Sang Raja menyaksikan Den Kisot, pentas teater boneka karya GM yang mengindonesiakan Don Quixote, lalu berpikir, “Ah, inilah Don Quixote sejati dari dunia modern!”
Kita tahu, dari pentas Den Kisot yang juga disiarkan di YouTube, bahwa Don Quixote menganggap kincir angin sebagai raksasa yang harus dilawan. Sementara itu, GM melihat institusi kekuasaan yang zalim, dogma yang eksklusif, dan otoritarianisme sebagai raksasa-raksasa yang terus menggiling kebebasan berpikir.
Bedanya, Don Quixote hanya memiliki satu rekan setia, Sancho Panza, penasihat pragmatis yang tak henti menyebutnya orang gila alias majnun. Sementara itu, GM punya sekian banyak rekan redaktur dan wartawan Tempo yang bertahun-tahun ikut mengayuh kuda gagasan bersamanya.
-000-
Don Quixote (dibaca: Don Ki-ho-te dalam bahasa Spanyol) adalah novel klasik karya Miguel de Cervantes, pertama kali terbit dalam dua jilid pada tahun 1605 dan 1615. Novel yang dikisahkan berasal dari naskah seorang “sarjana Arab” bernama Sayid Hamid ini dianggap sebagai salah satu karya sastra terbesar sepanjang masa.
Sering disebut sebagai novel modern pertama, kisah ini mengikuti Don Quixote, seorang bangsawan dari La Mancha yang terobsesi dengan roman ksatria hingga kehilangan akal sehatnya. Ia memutuskan menjadi ksatria pengembara, mengenakan baju zirah tua, dan menunggangi kudanya, Rocinante.
Dalam misinya yang heroik sekaligus absurd, ia ditemani pelayan setianya, Sancho Panza, yang bersikap lebih realistis. Sancho menjadi kontras humor dengan fantasi Don Quixote —selalu sabar melayani tuannya yang aneh, mendampinginya ke mana pun ia pergi, dan menjawab setiap permintaannya.
Salah satu adegan paling terkenal adalah saat Don Quixote menyerang kincir angin, mengiranya sebagai raksasa jahat —simbol dari idealisme buta dan delusi heroisme. Melawan kincir besar, ia akhirnya terpental penuh luka. Novel ini kaya akan satire, kritik sosial, dan refleksi filosofis tentang realitas serta imajinasi.
-000-
Di era ketika banyak orang lebih memilih berkompromi dengan zaman, GM tetap menulis, mengkritik, melukis, dan berteater. Bersama dalang Endo Suanda, ia menciptakan dunia di mana Don Quixote bisa bicara dalam bahasa Sunda, wayang golek mengangkat tema idealisme yang absurd, dan satire tetap tajam di tengah era serba halus.
Den Kisot bukan sekadar adaptasi Don Quixote, tetapi perwujudan dari satu hal yang terus dikejarnya: pertarungan melawan kemapanan yang tumpul, dan kreativitas yang seolah tanpa batas. Lakon ini dipentaskan keliling, dari NuArt Sculpture Park Bandung, Ternate, Tidore, Solo, Yogyakarta, hingga kembali ke Bandung.
Maka, jika Raja Spanyol kini memberi GM penghargaan, itu bukan sekadar pengakuan atas sebuah pentas boneka. Inilah penghormatan atas semangat Quixotic yang terus menyala dalam diri GM —terbukti dari pementasan teaternya yang tak kenal lelah, yang membina garis hubungan masa kini Indonesia dengan masa lalu Spanyol.
-000-
GM lahir di Batang, Jawa Tengah, sebuah kota yang mungkin tak masuk peta kesusastraan dunia. Namun, dari sana ia melesat menjadi salah satu pemikir paling berpengaruh di Indonesia. Selain melalui tulisan yang renyah dan sarat renungan, ia menuangkan pemikirannya lewat puisi dan lukisan.
Seperti Don Quixote yang terobsesi dengan roman ksatria, GM menghidupi narasi kebebasan dan kebenaran sejak muda. Ia mendirikan Tempo, menyaksikannya dilarang oleh rezim, dibredel agar semangat perjuangannya mati, lalu membangunnya kembali. Sebuah siklus Quixotic yang terus berulang.
Bukan berarti perjalanannya tanpa kritik. Ada yang menuduhnya terlalu elitis, terlalu sastrawi dalam politik, dan terlalu politis dalam sastra. Namun, bukankah itu juga yang dituduhkan pada Don Quixote? Bahwa ia terlalu idealis, terlalu tenggelam dalam dunia kata-kata, hingga lupa bahwa kenyataan sering kali lebih absurd daripada fiksi?
Yang menarik dari Den Kisot bukan hanya pementasan wayang boneka yang menawan, tetapi bagaimana GM berhasil menjembatani dua dunia: Spanyol dan Nusantara, klasik dan modern, idealisme dan pragmatisme. Sebagai penerjemah dan kritikus, GM telah memperkenalkan sastra Spanyol kepada pembaca Indonesia.
Sisi humanis GM dan kemampuannya untuk terhubung dengan perjuangan sehari-hari sejalan dengan karya-karya pemikir sastra dan filsafat Spanyol: dari refleksi eksistensial Miguel de Unamuno hingga kritik sosial Federico García Lorca.
Ia membawa semangat Don Quixote ke dalam konteks Indonesia —negara yang, seperti Spanyol di era Cervantes, masih terus berjuang menghadapi paradoks antara harapan dan realitas. Meski, kadang harapan GM terbentur pada kenyataan yang kemudian disesalinya.
Karya-karyanya adalah perwujudan semangat Don Quixote: pengejaran cita-cita tanpa henti, perlawanan terhadap penindasan, dan keyakinan akan kekuatan kata-kata yang transformatif. Tulisannya mengingatkan kita bahwa sastra dan jurnalisme bukan sekadar instrumen pencatatan, tetapi kekuatan yang mampu membentuk masyarakat dan menginspirasi perubahan.
-000-
Maka, penghargaan dari Raja Spanyol untuk GM ini bukan sekadar medali yang bisa digantung di dinding. Ini adalah pengakuan bahwa idealisme yang tampak “gila” pun masih dihargai di dunia yang semakin sinis.
Jika Don Quixote hidup di zaman ini dan menerima penghargaan dari Raja Spanyol, ia mungkin akan bersyukur… lalu segera menantang sang raja dalam duel gagasan.
Demikian pula GM. Penghargaan ini mungkin membanggakan, tetapi ia tak akan berhenti di sini. Seorang Quixotic sejati tidak pernah puas hanya dengan seremoni. Ia akan terus menulis, mengkritik, dan —tentu saja— melawan raksasa-raksasa baru yang bermunculan.
Sebab, dalam dunia yang semakin pragmatis, kita masih butuh para Don Quixote yang percaya bahwa kata-kata bisa mengubah dunia. Dan Goenawan Mohamad adalah salah satunya.(*)
Cak AT – Ahmadie Thaha
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 24/3/2025