- Sekadar Menampik Artikel Denny JA atas Pidato Kenegaraan Presiden Prabowo Subianto –
Oleh ReO Fiksiwan
“Yang dianggap oleh penguasa kolonial sebagai sifat malas dari masyarakat pribumi justru merupakan bentuk perlawanan terhadap kolonialisme.” — Syed Hussein Alatas (1928-2007), The Myth of the Lazy Native (1977).
HATIPENA.COM – Pidato kenegaraan Presiden Prabowo Subianto di Sidang Tahunan MPR RI, 15 Agustus 2025, menyuarakan semangat “Indonesia Incorporated” dan janji untuk melindungi rakyat dari “serakahnomics”.
Sebuah istilah yang, ironisnya, justru mengingatkan kita pada sejarah panjang keserakahan yang telah menjadi fondasi ekonomi Indonesia sejak kolonialisme hingga era digital.
Dalam pidato itu, Prabowo menyebut keberhasilan menyelamatkan Rp300 triliun dari anggaran negara yang bocor. Tapi pertanyaannya: bocor ke mana?
Dan siapa yang menampungnya?
Denny JA, Komisaris Utama Pertamina Hulu Energi, menulis tentang transisi dari “Serakah-nomic” menuju “Indonesia Incorporated” sebagai harapan baru.
Tapi harapan, seperti biasa, adalah komoditas paling murah dalam politik. Kita sudah kenyang dengan retorika.
Yang kita butuhkan adalah revolusi moral ekonomi. Bak ironi yang ditulis James C. Scott (1936-2024), dalam The Moral Economy of the Peasant: Rebellion and Subsistence in Southeast Asia (1976):
„Ada daerah-daerah yang penduduk pedesaannya seperti orang yang terus-menerus terendam air hingga leher, sehingga riak air saja sudah cukup untuk menenggelamkannya.“
Sayangnya, yang kita dapat justru parade oligarki yang makin lihai menyaru sebagai patriot dengan gagah memasang pagar laut berpulug kilometer di pesisir Teluk Jakarta hingga Banten.
Adam Smith dalam The Wealth of Nations (1776) pernah menyebut bahwa kekayaan bangsa dibangun oleh kerja produktif dan pasar bebas yang sehat.
Tapi di Indonesia, pasar bebas sering kali berarti bebas menjarah.
Kapitalisme yang kita anut bukanlah kapitalisme produktif, melainkan ersatz capitalism seperti yang dikritik oleh Yukio Yoshihara (86): kapitalisme semu yang dibangun atas rente, koneksi birokrasi, dan proteksi politik (Lihat The Rise of Ersatz Capitalism in South-East Asia, 1988).
Kapitalisme yang tidak melahirkan inovasi, tapi justru memperkuat patronase dan pemburu rente.
Richard Robison (82) dalam Indonesia: The Rise of Capital (1986) menunjukkan bagaimana kapitalisme Indonesia tumbuh bukan dari wirausaha, melainkan dari fusi antara pejabat negara dan pengusaha kroni.
Di era Orde Baru, militer, keluarga presiden, dan konglomerat Tionghoa membentuk simbiosis mutualisme yang menguasai aset-aset strategis.
Kini, warisan itu diteruskan oleh generasi baru oligarki yang lebih lihai dalam menyembunyikan niat serakah di balik jargon nasionalisme.
Joseph Stiglitz (82) dalam The Roaring Nineties: A New History of the World’s Most Prosperous Decade (2003) menyebut dekade 1990-an sebagai era keserakahan, ketika deregulasi dan privatisasi dijadikan mantra untuk memperkaya segelintir orang. Indonesia tak luput dari dampak itu.
Dari skandal BLBI hingga privatisasi BUMN, kita menyaksikan bagaimana aset publik dijadikan ladang panen oleh elite yang tak pernah kenyang.
Kini, dengan dalih efisiensi dan investasi, tanah rakyat, hutan adat, dan sumber daya alam kembali dipertaruhkan.
Soemitronomic—sebuah istilah yang bisa kita pinjam dari semangat Soemitro Djojohadikusumo, ekonom yang percaya pada industrialisasi dan kemandirian nasional—mungkin bisa menjadi antitesis dari serakahnomics.
Tapi untuk itu, kita butuh lebih dari sekadar pidato. Kita butuh keberanian untuk membongkar struktur rente, menolak monopoli, dan mengembalikan ekonomi kepada rakyat.
Sayangnya, dalam praktiknya, Indonesia Incorporated lebih mirip Indonesia Inc.—sebuah korporasi raksasa yang dikelola oleh segelintir pemegang saham anonim, dengan rakyat sebagai konsumen yang tak punya suara.
Dari tambang ilegal yang dibekingi jenderal, hingga proyek reklamasi yang menghapus kampung nelayan, semua menunjukkan bahwa konstitusi sering kali kalah oleh konsensus kekuasaan.
Delapan puluh tahun kemerdekaan, dan kita masih terjebak dalam siklus serakah. Dari VOC ke BUMN, dari Benteng ke unicorn, dari rente ke startup.
Nama boleh berganti, tapi motif tetap sama: akumulasi tanpa distribusi.
Maka, jika Prabowo ingin benar-benar membangun Indonesia Incorporated, ia harus mulai dari membongkar Indonesia Inc.
Karena jika tidak, pidatonya hanya akan menjadi bab baru dalam buku sejarah keserakahan.
Selamat datang di Soemitronomic. Semoga bukan sekadar nama. (*)
#coverlagu: Setan Tertawa, God Bless (1976).