Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Debat “Disertai” (bukan) Disertasi

February 12, 2025 11:59
IMG_20250212_115819

Foto: Tangkapan Layar/ Hatipena
Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya

HATIPENA.COM – Menarik dicermati dalam ruang sidang Badan Legislasi DPR RI, di mana nalar hukum seharusnya menjadi suluh, justru terjadi paradoks yang menyerupai debat dalam taman kanak-kanak.

Perkara yang tampaknya sepele, yaitu tentang —kata “disertai”—bukan disertasi sebagaimana di kampus, sekali lagi kata disertai, yang menjadi pangkal perdebatan panas itu.

Nyoman Parta, anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan berpegang teguh pada logika bahasa, menyatakan bahwa “disertai” berarti “bersama.”

Contoh kalimat ia datang disertai istrinya, artinya ia datang bersama istrinya. Jika tak disertai, berarti ia sendiri. Jelas, bukan?

Namun, logika yang seharusnya terang ini justru menjadi kabut dalam sidang DPR RI yang membahas RUU Minerba pada Selasa, 11 Februari 2025.

Bambang Haryadi, dengan nada penuh kepastian, membantah: “Disertai bukan berarti bersamaan.” Seolah kata itu memiliki makna misterius yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang duduk di kursi Baleg. “Bisa besoknya!” ujarnya, seakan waktu adalah elastis, bisa direntang dan dikompresi sesuka hati, tergantung siapa yang berbicara.

Di tengah silang pendapat yang semakin bising, Bob Hasan, sang pemimpin sidang, mencoba menengahi, tetapi malah menyalakan bara baru. “Saya menyarankan, sebelum mempertanyakan sesuatu, perdalam dulu dasar hukumnya.”

Pernyataan yang, alih-alih meredakan, justru menjadi sulut bagi Nyoman Parta, yang merasa seolah sedang diuji pemahamannya sendiri. Seolah-olah vokalis asal Bali itu, belum membaca dasat hukumnya.

“Saya sudah baca!” Nyoman Parta bersikeras, membaca ulang pasal 84 yang menyatakan Surpres harus disertai dengan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).

Logika hukum yang seharusnya jelas malah ditabrakkan dengan tafsir kebahasaan yang aneh. “Apanya yang aneh? Yang saya omongin apanya yang aneh?” sergah Nyoman Parta, geram karena argumentasinya diperlakukan seperti omong kosong.

Akhirnya, keputusan pun jatuh: rapat panja ditunda. Ironis, perkara yang seharusnya terletak pada substansi pembahasan RUU, justru tersandung dalam perdebatan definisi kata.

Paradoks di parlemen kita bukan sekadar soal bahasa. Ia adalah cermin bagaimana nalar bisa dikaburkan oleh kepentingan, antara pendukung pemerintah dengan pendapat yang berbeda. Jika demikian debat bisa berubah menjadi panggung retorika kosong, dan bagaimana satu kata bisa menjadi medan pertempuran ego.

Maka, kita bertanya: apakah ini sekadar perdebatan linguistik, atau justru simbol dari kebingungan yang lebih besar? Jika satu kata saja bisa membuat sidang nyaris buntu, bagaimana nasib substansi undang-undang yang menyangkut hajat hidup rakyat? (*)

Denpasar, 12 Februari 2025