HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Demokrasi Berbasis Rupiah, Asbab Putusan 135

July 19, 2025 05:50
IMG_20250719_054710

Dr. Wendy Melfa
Akademisi UBL, Penggiat Ruang Demokrasi ( RuDem )


HATIPENA.COM – Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang dibacakan 26 Juni 2025 (Putusan 135), masih menjadi perdebatan politik dan hukum. Yang menarik perhatian publik, bukan saja ada sebagian kalangan berasumsi bahwa melalui putusannya, tetapi MK juga dianggap telah melampaui wewenangnya dengan mengubah norma UUD NRI 1945 khususnya Pasal 22E terkait dengan pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah.

Asbab Engineering Constitution

Putusan ini ternyata berimplikasi pada jangka waktu penyelenggaraan Pemilu lima tahunan, juga polemik dan perdebatan pada implikasi masa jabatan keanggotaan DPRD Provinsi, Kabupaten, dan Kota yang akan berakhir masa jabatannya pada tahun 2029 yang akan datang.

Sementara berdasar Putusan MK 135 penyelenggaraan Pemilu Daerah untuk memilih Kepala Daerah dan Anggota DPRD, akan dilaksanakan dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan setelah pelantikan Presiden atau DPR/ DPD hasil Pemilu 2029.

Berdasarkan Konstitusi, Putusan MK bersifat final (Pasal 24C UUD NRI 1945) dan binding (UU 24/2003 diubah UU7/2020 tentang MK).

Putusan MK 135 tidaklah berdiri sendiri, bukan juga sesuatu yang dihasilkan dari kompromi Majelis Hakim Pemutus dalam satu malam, atau sesuatu yang hadir dari ‘ruang hampa’.

Tetapi apabila dibaca dan dicermati melalui pertimbangannya, merefleksikan dialektika politik dan hukum ketatanegaraan yang panjang berbasis penyelenggaraan Pemilu sebelumnya yang dapat dikelompokkan berbagai asbab yang ‘mewarnai’ kalau tidak ingin mengatakannya ‘mencederai’ penyelenggaraan Pemilu 2019 dan 2024.

Dari putusan ini, kita tentu mengharapkan adanya perbaikan sistem politik dan kepemiluan kita pada penyelenggaraan Pemilu 2029 dan seterusnya melalui apa yang disebut engineering constitution.

Politik Uang Merusak Demokrasi

Satu di antara asbab yang ‘menyelimuti’, ‘mewarnai’, bahkan ‘merusak’ demokrasi dari penyelenggaraan Pemilu kita adalah meningkatnya politik uang. Ini menyebabkan perilaku pemilih transaksional dalam menentukan dan menggunakan kedaulatannya dalam memilih peserta Pemilu yang akan menyelenggarakan pemerintahan ke depan. Tentu ini juga berkaitan dengan legitimasi dan integritas penyelenggara pemerintahan hasil Pemilu yang dihasilkan dari proses politik transaksional dan politik uang.

Mengutip hasil survei lembaga survei Indikator Politik melalui rilis surveinya (24/2-2024), menemukan keadaan yang miris soal politik uang; pemilih yang menentukan pilihannya karena uang pada Pemilu 2024 sebesar 35 persen.

Hal ini mengalami peningkatan cukup tajam dari Pemilu 2019 yang hanya 28 persen pemilih. Jumlah masyarakat menilai politik uang hal yang wajar dilakukan oleh calon anggota legislatif (caleg), tim sukses (timses), dan lainnya sebesar 33 persen (2019) meningkat sebesar 51,4 persen (2024).

Kemudian jumlah pemilih yang menolak politik uang menurun menjadi 8 persen (2024), hal mana jumlahnya masih sebesar 9,8 persen pada Pemilu 2019.

Dalam berbagai kesempatan wawancara, sejumlah caleg gagal mengonfirmasikan bahwa penyelenggaraan Pemilu 2024 ibarat ‘perang saudara’.

Mereka berkompetisi dan ‘saling bunuh’ dengan sesama caleg dalam satu Partainya dengan menggunakan ‘politik uang’ sebagai ‘senjatanya’. Dan melalui berbagai media, kita pernah mendengar berbagai pernyataan sejumlah elit politik yang menyatakan bahwa Pemilu 2024 adalah Pemilu paling buruk dalam sejarah pelaksanaan Pemilu, serta pernyataan lain yang sejenis.

Ini menggambarkan penyelenggaraan Pemilu 2024 menurunkan kualitas demokrasi kita, terlepas dari apa pun hasilnya.

Praktik ini tentu tidak akan kita biarkan terus dengan kondisi seperti ini, melainkan harus kita perbaiki dengan cara mengidentifikasi dan memperbaiki sistem politik dan Pemilu untuk perbaikan kualitas demokrasi.

Bola di Tangan Pembuat UU

Karena sifatnya final dan binding, Putusan MK 135 mendorong dan menjadi trigger bagi perbaikan sistem politik termasuk sistem Pemilu melalui perbaikan UU, yang mengaturnya oleh pembuat UU (Pemerintah dan DPR), baik dari segi waktu pembahasannya maupun materi perbaikan UU-nya dengan menjadikan Putusan MK 135 sebagai norma Konstitusinya.

Tentu karena ini berkaitan dengan sistem politik, maka secara sinergis dan terintegrasi pembahasan perbaikan UU Pemilu ini juga dapat “disatukan” dengan paket UU Politik dan Pemerintahan Daerah terkait lainnya.

Dalam perbaikan sistem politik melalui pembaharuan UU paket politik ini, secara holistik diharapkan bukan saja merancang penyelenggaraan Pemilu secara teknis yang terpisah, tetapi juga terdapat di dalamnya pengaturan perilaku caleg, timses, pemilih, larangan dan sanksi tegas tentang politik uang.

Selain itu, juga pengaturan penyelenggara yang berintegritas secara paripurna dalam upaya merancang terwujudnya demokrasi Indonesia yang lebih baik dan berkualitas.

Roscoe Pound dalam teori hukumnya mengatakan: law as a tool of social engineering, hukum sebagai alat rekayasa sosial. Melalui pendekatan teori ini, kita bisa men-design masyarakat Pemilu, dan bisa mewujudkan demokrasi yang lebih baik melalui sistem poltik.

Selain itu, juga bisa di-design dengan baik melalui penataan UU yang mengatur sistem politik itu lebih baik dari sisi substansi materinya, maupun cukup waktu untuk membahas secara inklusif, dengan mendengar dan melibatkan semua stake holders di dalamnya, dan cukup waktu untuk sosialisasi dan melaksanakannya pada Pemilu 2029. (*)