Rosadi Jamani
(Ketua Satupena Kalbar)
HATIPENA.COM – Tinggalkan soal kehebatan Mengawati di lapangan voli Korea. Kita beralih ke Gedung DPR RI. Di sana seorang wakil rakyat melepas lencananya karena malu. Ia lepas di hadapan Menteri KKP. Persoalan pagar laut yang semakin misterius. Yok, kita kupas sambil menikmati kopi hangat, no sugar.
Langit-langit ruang rapat seakan menekan. Udara di dalamnya pekat, seperti dipenuhi suara-suara rakyat yang tak terdengar. Firman Soebagyo, berdiri. Tidak hanya berdiri. Ia bangkit. Bangkit dengan amarah yang tak terucap, kecewa yang tertahan, dan kebanggaan yang telah terlukai.
“Pak Menteri,” katanya, suaranya bergetar antara getir dan geram. “Saya tidak marah. Tidak pada Pak Menteri. Tapi sebagai wakil rakyat, saya malu.”
Malu. Kata itu menggema. Lebih tajam dari pedang. Lebih pedih dari gelombang lautan yang dipasung. Firman, dengan gerakan lambat seperti dalam film epik, meraih dadanya. Jemarinya menyentuh lencana anggota DPR. Lambang kehormatan itu ia lepas. Dengan tangan gemetar, ia taruh lencana itu ke dalam sakunya.
“Ini, Pak Menteri. Saya lepas lencana saya. Bukan nanti. Sekarang juga. Karena persoalan ini memalukan!”
Laut Indonesia, 30,16 kilometer dari kebebasannya, dipagari. Sebuah pagar bambu berdiri kokoh, menantang gelombang, menantang nalar, menantang kesabaran rakyat. Siapa yang berani melakukan ini? Siapa yang bisa menghentikannya? Firman menatap tajam ke arah Menteri KKP, Sakti Wahyu Trenggono. Nama “Sakti” seakan menjadi ironi. Apakah kesaktian itu hanya mitos?
“Pak Menteri,” Firman menekan setiap katanya, seperti seorang hakim yang mengetukkan palu. “Presiden sudah perintahkan. TNI AL sudah membongkar. Tapi kenapa pagar itu masih berdiri? Apakah ini pagar laut? Atau pagar kebohongan? Atau mungkin pagar konspirasi?”
Ruangan sunyi. Setiap orang menahan napas. Konspirasi. Kata itu melayang di udara seperti burung gagak yang menukik. Apakah ada pejabat yang melindungi proyek ini? Apakah pagar itu sebenarnya tak lebih dari simbol korupsi yang berakar dalam? Firman tahu, rakyat sudah mencium sesuatu. Bau itu busuk.
“Saya Ketua Panja yang merumuskan UU kelautan. Saya tahu apa yang harus dilakukan. Bukti sudah lengkap, Pak Menteri. Tinggal satu hal, Pak Menteri mau bertindak, atau tidak?”
Firman melangkah mundur, tapi bukan mundur karena gentar. Ia mundur karena kecewa. Ia mengingatkan bahwa hari ini, tidak ada fraksi. Tidak ada perbedaan. Hanya ada satu suara, suara Komisi IV. Suara rakyat. Tapi apakah benar itu suara rakyat? Atau hanya suara retorika yang indah di depan kamera?
Lencana itu, tersembunyi di sakunya, menjadi saksi. Saksi bisu atas penghinaan ini. Laut Indonesia, kebanggaan Nusantara, telah menjadi tawanan. Rakyat hanya bisa menunggu.
Menunggu akhir dari drama ini. Apakah ini akan menjadi kemenangan? Ataukah hanya epilog dari tragedi panjang bernama negeri yang terlalu sering mengkhianati dirinya sendiri? (*)
#camanewak