Dr. Wendy Melfa
Dosen UBL, Penggiat Ruang Demokrasi (Rudem)
HATIPENA.COM – Polemik soal keaslian ijazah Joko Widodo, Presiden ketujuh Republik Indonesia masih saja berseliweran pada jagad maya pemberitaan di berbagai media.
Durasinya relatif cukup panjang sejak menjelang akhir sang presiden menduduki jabatannya, hingga presiden kedelapan memasuki masa enam bulan pemerintahannya, mereka yang ‘ngotot’ menggulirkan isu ini masih terus berusaha ‘mencuri’ perhatian publik meskipun makin terasa memudar ketertarikan publik untuk menjadikan isu ini sebagai objek obrolannya.
Riuh yang Belum Reda
Pergerakan isu polemik ijazah ini sudah memasuki proses hukum, saling melaporkan ke pihak Kepolisian antara pihak yang mempersoalkan maupun pihak Joko Widodo yang merasa ‘terganggu’ dengan tudingan keaslian ijazah Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM) yang dipunyainya.
Ranah hukum menjadi pilihan akhir manakala proses-proses ‘penjelasan’ dan keterangan dari pihak UGM sebagai lembaga yang secara resmi menerbitkan ijazah dimaksud masih belum ‘memuaskan’ pihak-pihak yang selama ini mempersoalkan keaslian ijazahnya.
Pekan lalu, Pusat laboratorium forensik Mabes Polri melalui Bareskrim telah merilis hasil uji forensik untuk mengukur dan mengetahui keotentikan dokumen ijazah S-1 Fakultas Kehutanan UGM milik Joko Widodo dengan metode pengujian yang terukur, memeriksa sejumlah saksi, dan memeriksa sejumlah dokumen terkait lainnya, dan menyimpulkan bahwa Ijazah tersebut memenuhi kualifikasi ’otentik’ dan asli, bukan palsu, serta menyatakan menghentikan penyelidikan kasus dugaan ijazah palsu tersebut karena tidak ditemukan unsur pidana.
Penjelasan resmi dari UGM sebagai lembaga yang menerbitkan Ijazah S-1 Fakultas Kehutanan UGM bahwa Ijazah atas nama Joko Widodo tersebut sebagai Ijazah yang diterbitkan oleh Fakultas Kehutanan UGM adalah sah dan sesuai dengan prosedur serta tahapannya.
Selain itu, rilis hasil pengujian forensik terhadap Ijazah tersebut melalui laboratorium (Puslabfor) Mabes Polri, yang menyatakan Ijazahnya S-1 Fakultas Kehutanan UGM atas nama Joko Widodo otentik dan asli, juga belum menghentikan keriuhan dan polemik akan hal tersebut dari pihak-pihak yang ‘mempersoalkan’ dan menggulirkan ini sebagai isu untuk ‘menu’ makan siangnya. Hal ini dapat diibaratkan ‘gugatan yang tak bertepi’ dari pihak-pihak yang meramaikan isu yang sesungguhnya sudah tidak lagi menarik untuk dibincangkan.
Kaidah-kaidah Ukuran Demokrasi
Tujuan berdemokrasi adalah mewujudkan masyarakat yang adil dan setara, setiap warganegara berhak berkontribusi dalam membangun negara dan berkesempatan yang sama untuk mendapatkan hak-hak dasarnya sebagai warganegara.
Berbeda pendapat dan saling mempertahankan pendapatnya itu adalah juga cara berdemokrasi, termasuk juga ‘meragukan’ keabsahan dokumen yang dimiliki dan digunakan oleh seseorang apalagi pejabat publik, itu juga cara berdemokrasi, boleh dan sah-sah saja dalam negara demokrasi.
Dipahami sebagai cara untuk mencapai tujuan, supaya berdemokrasi itu tidak menjadi liar kemana-mana, maka tentu dalam menggunakan cara tersebut sepatutnya menggunakan kaedah-kaedah sebagai ‘koridor’ yang umumnya dijadikan panduan dalam kita berdemokrasi, ciri negara demokrasi itu salah satu menghormati hukum sebagai konsekuensi negara demokrasi yang berdasarkan hukum.
Di antara kaedah hukum memberikan ruang atas sengketa (termasuk perbedaan pendapat) untuk diselesaikan melalui putusan pengadilan, maka proses hukum menjadi ‘remedium’ (upaya) menyelesaikan sengketa.
Dalam hal upaya ‘menjelaskan’ objek permasalahan, Polri sebagai institusi penegakan hukum mewakili Negara menggunakan fasilitas Puslabfor dalam mencacah dan mengidentifikasi hal-hal yang berkaitan dengan otentifikasi sebuah Ijazah, dan untuk itu Bareskrim Mabes Polri sudah merilis hasilnya.
Apalagi menurut kaidah agama (Islam) di dalam QS An-Nisa: 59, yang artinya: taatilah Allah dan taatilah Rasul serta ululamri (pemegang kekuasaan) di antara kamu (jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu), dalam konteks polemik ini, karena perbedaan pendapat ini sudah sampai pada proses hukum, maka sebelum adanya keputusan Pengadilan sebagai konsekuensi negara hukum. Bareskrim Mabes Polri berdasarkan hasil uji laboratorium forensik-nya telah menyatakan Ijazah tersebut otentik dan asli.
Sepatutnya pihak-pihak yang berbeda pendapat menghormati keterangan berdasarkan hasil uji laboratorium forensik ini, sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan sebaliknya.
Selanjutnya berkaitan dengan dokumen Ijazah, menurut hukum administrasi dikenal asas Contrarius Actus, menyatakan bahwa badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara adalah pihak yang berhak untuk membatalkannya, dalam konteks polemik ini yang menerbitkan Ijazah sebagai Keputusan Tata Usaha Negara atas nama Jokowi adalah UGM, maka UGM juga yang berhak membatalkan atas terbitnya Ijazah tersebut.
Pemahaman menerbitkan dalam arti lebih luas termasuk didalamnya mempertanggungjawabkan akan keabsahan proses dan terbitnya Ijazah tersebut, sampai ada putusan Pengadilan yang menyatakan sebaliknya, ini yang dalam lapangan hukum disebut sebagai asas praduga rechmatig atau asas praduga sah (dalam konteks Peradilan Tata Usaha Negara).
Sebaiknya untuk tidak dikatakan berdemokrasi secara ‘eyel-eyelan’ apalagi sampai ‘ugal-ugalan’ maka kita patut menjadikan kaedah-kaedah tersebut sebagai acuan untuk membangun kedewasaan berdemokrasi kita.
Berbeda pendapat yang ‘berkepanjangan’ dengan tanpa bersandarkan pada kaedah-kaedah yang diakui secara umum, dapat berubah menjadi sesuatu yang kontra produktif bagi pembangunan demokrasi kita, atau bahkan patut diduga sebagai bagian dari skenario proxy war yang sedang menjamah negeri kita, hanya waktu dan Tuhan Yang Maha Kuasa yang akan mengetahuinya.
Hikmah Atas Peristiwa
Polemik Ijazah yang diragukan keasliannya oleh sebagian pihak warga negara, juga kita temui pada kasus-kasus yang melibatkan pejabat publik di beberapa daerah, terindikasi palsu, atau bahkan ada diantaranya yang menghadapi proses hukum bahkan sampai diberhentikan dari jabatannya, dan menjalani pidana sebagai konsekuensi hukumnya.
Dari beberapa kasus yang mengemuka ada yang melibatkan calon Kepala Daerah, ada juga calon bahkan sudah terpilih sebagai Anggota Legislatif, juga ada yang sama pak pada jabatan calon atau terpilih sebagai Kepala Desa.
Tentu kita wajib belajar dan memetik hikmah atas peristiwa-peristiwa yang telah mengemuka untuk kita buat kebijakan atau aturan hukumnya sebagaimana mestinya agar hal-hal serupa bis akita antisipasi dan tidak terulang kembali, karena hukum itu tumbuh dan hidup pada masyarakatnya (living law).
Kedepan kita bisa membuat ketentuan bahwa setiap pengisian jabatan publik yang mensyaratkan persyaratan administrasi seperti Ijazah dan lain-lain, di dalam prosesnya patut dicantumkan tahapan dan waktu untuk uji publik di samping kewajiban pihak penyelenggara untuk memverifikasinya ke lembaga-lembaga berwenang, juga memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada publik untuk ‘ikut serta’ memverifikasi keabsahan dokumen administrasi tersebut.
Bukankah ada fungsi hukum sebagai alat untuk merekayasa masyarakat, termasuk men-design aturan dan persyaratan bagi persyaratan untuk jabatan-jabatan publik ke depannya, law as a tool of social engineering (Roscoe Pond). (*)