Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya
HATIPENA.COM – Denpasar, Badung, dan kota-kota lainnya di Bali menjadi saksi sebuah dunia paradoks yang begitu mencolok di depan mata kita, khususnya dalam keluarga modern.
Suami dan istri tenggelam dalam kesibukan pekerjaan, mengejar tuntutan ekonomi dan ambisi personal. Sementara anak-anak mereka, yang berjumlah satu atau dua, menjadi bagian dari roda kehidupan yang serba cepat dan praktis.
Ketika masih kecil, urusan antar-jemput menjadi beban harian. Mereka yang mampu, menyewa jasa pengantar atau menyerahkan tugas itu kepada pembantu.
Namun, seiring waktu, beban berubah bentuk. Ketika anak memasuki usia remaja, berkisar kelas 2, 3 SMP atau SMA para orangtua merasa lega karena anaknya sudah bisa mengendarai sepeda motor sendiri.
Di balik kelegaan itu, tersembunyi sebuah ironi besar. Orangtua yang bertahun-tahun mengajarkan nilai-nilai moral, justru menjadi pihak pertama yang “merestui” pelanggaran hukum: mengizinkan anak di bawah umur mengendarai sepeda motor tanpa SIM di jalan raya yang tak dibolehkan undang-undang.
Bagaimana tidak? Seorang anak yang masih berseragam SMP secara hukum mustahil mendapatkan SIM karena usia mereka belum memenuhi syarat. Namun, pelanggaran ini dibiarkan menjadi hal yang lumrah di depan mata dalam keseharian kita.
Polisi yang berdiri di jalanan tentu tahu jika pengendara berseragam SMP itu melanggar aturan. Tapi apa yang bisa mereka lakukan? Jumlah anak-anak ini terlalu banyak pada jalanan yang padat membuat penindakan terhadap mereka sering kali menjadi dilema.
Tidak berhenti di situ, pihak sekolah pun tanpa suara ikut merestui.
Kendaraan para siswa tidak boleh diparkir di dalam lingkungan sekolah, tetapi anak-anak itu sangat mencolok memarkir kendaraannya di sekitar sekolah. Mustahil jika guru atau aparat sekolah tidak mengetahuinya.
Semua seolah menutup mata, orang tua, polisi dan juga gurunya seakan membiarkan pelanggaran ini menjadi bagian dari rutinitas sehari-hari.
Ironi bertambah ketika kita menyadari bahwa sekolah adalah tempat anak-anak diajarkan norma, nilai, dan aturan hidup untuk kelak menjadikannya baik. Namun di depan mata para gurunya, justru ada pelanggaran terang-terangan yang terjadi dengan “persetujuan” orangtua, guru, dan aparat hukum.
Di mana letak tanggung jawab itu, pelajaran apa yang diperoleh dari fenomena itu. Siapa bertanggung jawab? Atau jangan-jangan pelanggaran itu bagian dari pengajaran dengan metode paradoks hehehe…….
Zonasi sekolah, yang sejatinya dimaksudkan untuk mendekatkan jarak antara rumah dan tempat belajar, juga tidak sepenuhnya menyelesaikan masalah.
Bersepeda dan jalan kaki juga tidak menjadi solusi. Jalanan kota tidak ramah bagi anak-anak yang ingin menggunakan sepeda atau kendaraan listrik. Demikian juga ruas jalan untuk berjalan kaki yang disebut trotoar sangat tidak layak, ada yang diserobot pedagang kaki lima, ada yang berlobang, ada juga yang jomplang-jomplang. Keamanan menjadi isu yang sulit diabaikan.
Mungkin solusi yang lebih relevan adalah menghadirkan regulasi baru: SIM khusus untuk anak-anak remaja yang hanya berlaku bagi kendaraan bermotor dengan kapasitas mesin rendah, seperti 50cc. Tapi ini perlu kajian akademis agar rekomendasinya teruji secara baik.
Dengan ini, anak-anak tetap dapat belajar bertanggung jawab, dan hukum tidak dilanggar secara terang-terangan, dan anak-anak itu pun ‘legal’ berkendaraan. Sebab ketika tidak memiliki SIM, terjadi kecelakaan, tidak menjadi objek yang disalahkan karena seseorang yang tak punya SIM terjadi kecelakaan, biarpun benar tetap menjadi salah.
Namun pada akhirnya, dunia ini tetaplah paradoks. Di tengah keinginan untuk memberikan pendidikan yang terbaik, orangtua, sekolah, dan aparat hukum bersama-sama menciptakan sebuah ekosistem yang melanggengkan pengajaran melanggar.
Dunia paradoks ini terus berjalan, meninggalkan jejak ironi yang semakin dalam di kota-kota besar seperti Denpasar.
Pertanyaan yang tersisa: apakah kita akan terus menjadi bagian dari siklus ini, atau mulai mencari jalan keluar yang lebih manusiawi dan bermartabat dalam memberikan masa depan yang baik buat generasi mendatang? Kita tanya pada rumput yang bergoyang. (*)
Denpasar, 26 Januari 2025