Mohammad Medani Bahagianda
(Dalom Putekha Jaya Makhga)
Tabik Pun!
HATIPENA.COM – Alkisah, pada zaman Kesultanan Sekala Brak, hiduplah seorang pemuda dari Marga Pemuka bernama Ratu Sanggar. Marga Pemuka adalah keturunan langsung dari Umpu Sekekhummong, sang penyatuan marga di Lampung Pepadun, yang silsilahnya tercatat dalam kitab kuno Kuntara Raja Niti. Ratu Sanggar dikenal bukan karena kekuatannya, tetapi karena kemampuannya bejuluk beadek, memahami dan menjalankan adat dengan mendalam.
Suatu ketika, sang Penyimbang (pemimpin adat) Marga Pemuka, Paksi Alam, memanggilnya. “Anakku, aku khawatir. Semangat pi’il pesenggiri kita mulai memudar. Anak-anak muda lebih tertarik pada keriuhan pesta daripada makna di balik setiap gerak tari dan ucapan adat.” Paksi Alam lalu memberikan Ratu Sanggar sebuah tugas: menyelami sebuah peti berisi naskah-naskah daun lontar (khasoh) peninggalan leluhur yang berdebu. Di dalamnya, tersimpan syair-syair Bedikir, diagram permainan Main Memanukan, dan mantra-mantra untuk Ngeruruh Kayu Arow.
Ratu Sanggar menghabiskan berbulan-bulan mempelajarinya. Ia menemukan sebuah petuah dalam Kuntara Raja Niti yang berbunyi: “Tiyan sai mak nemui, mak nyimah, mak nengah, mak nyappur, sai punyikhan wat sai matei jama, matei caran.” (Orang yang tidak nemui, tidak nyimah, tidak nengah, tidak nyappur, ia punya watak yang mati bersama orang, mati dengan caranya).
Analisis Kutipan: Petuah ini sangat dalam. Nemui Nyimah (saling mengunjungi dan ramah) dan Nengah Nyappur (aktif bersosialisasi) bukan sekadar sikap sosial, tetapi adalah nafas yang menghidupkan masyarakat adat. Tanpanya, sebuah komunitas hanya akan menjadi kumpulan orang yang suatu saat akan punah bersama cara-cara hidupnya yang kosong. Ini adalah peringatan bahwa adat bukanlah ritual mati, tetapi nilai hidup yang harus dihirup setiap hari.
Namun, upaya Ratu Sanggar menemui jalan buntu. Para tetua muda lainnya, yang didukung oleh perangkat daerah setempat, lebih tertarik untuk menyelenggarakan Festival Krakatau yang megah. Mereka berkata, “Untuk apa mempelajari naskah usang? Festival lebih menarik perhatian turis dan atasan! Itulah cara melestarikan budaya!” Panggung-panggung besar dibangun, lampu sorot dipasang, dan tarian Cangget dipersingkat dan di-digitalisasi untuk tontonan. Sementara, peti naskah Ratu Sanggar justru dikubur di bawah panggung festival tersebut, sebagai metafora nyata bahwa warisan sejati dikorbankan demi pertunjukan.
Ratu Sanggar hanya bisa memandang pilu. Ia teringat sebuah syair dalam naskah Bedikir yang baru ia temukan: “Damar mioh di ujung tiyuh, cahayanya temarang sampai ke hulu.” (Damar menyala di ujung kampung, cahayanya terang sampai ke hulu).
Analisis Kutipan: Syair ini sering dibawakan dalam festival, tetapi maknanya jarang diselami. “Damar” bukan sekadar lampu minyak. Ia adalah metafora untuk pengetahuan adat (Kuntara Raja Niti) dan nilai spiritual (Bedikir). Jika dinyalakan dengan benar di “ujung kampung” (ditanamkan dari tingkat dasar, di pelosok), cahayanya akan menerangi seluruh masyarakat (“sampai ke hulu”).
Namun, pemerintah justru menyalakan “damar” palsu di panggung festival, cahayanya terang benderang, tetapi palsu, sesaat, dan tidak memancarkan kehangatan sejati yang bisa menerangi jalan generasi penerus.
Kisah fiksi Ratu Sanggar adalah cermin dari dilema nyata di Lampung saat ini. Pemerintah daerah, dengan segala sumber dayanya, sering terjebak dalam pelestarian budaya yang bersifat event-based dan spectacle-oriented. Festival budaya seperti Festival Krakatau atau Festival Teluk Stabas memang megah dan menarik perhatian. Namun, ia ibarat bunga plastik, indah dilihat, tetapi tidak berakar dan tidak menghidupi lingkungan sekitarnya.
Masyarakat adat Lampung, sebagaimana tertuang dalam Kuntara Raja Niti, dibangun di atas filosofi Pi’il Pesenggiri yang kompleks. Filosofi ini terdiri dari:
• Bejuluk Beadek (bergelar dan beradat): Menekankan pentingnya identitas dan martabat yang dijunjung melalui gelar dan tata krama.
• Nemui Nyimah (saling mengunjungi dan ramah): Fondasi hubungan sosial yang intim dan penuh kekeluargaan.
• Nengah Nyappur (aktif dalam pergaulan): Kemampuan untuk beradaptasi dan terlibat dalam masyarakat.
• Sakai Sambayan (tolong-menolong): Prinsip gotong royong yang menjadi tulang punggung komunitas.
Nilai-nilai ini tidak bisa disampaikan melalui panggung festival yang berdurasi dua jam. Ia adalah kurikulum hidup yang harus diajarkan melalui Sekahan Adat (sekolah adat), diskusi dengan penyimbang, dan praktik langsung dalam permainan tradisional seperti Main Memanukan yang melatih strategi, atau Ngeruruh Kayu Arow yang melatih keberanian dan kerja tim.
Pemerintah justru mengalokasikan dana besar untuk sound system dan artis pendamping, alih-alih mendanai program pendokumentasian naskah kuno (khasoh) atau memberikan beasiswa kepada pemuda untuk mendalami filsafat adat. Akibatnya, yang lestari adalah tontonannya, bukan nilainya.
Ketika sebuah tarian Cangget hanya diajarkan untuk festival, dengan gerakan yang dipersingkat dan dihilangkan makna filosofisnya, maka yang terjadi adalah disorientasi identitas. Generasi muda Lampung akan mengenal budayanya sebagai sesuatu yang eksotis dan untuk dipertontonkan, bukan sebagai panduan hidup. Mereka akan seperti Ratu Sanggar yang tahu bahwa ada naskah berharga, tetapi tidak mampu mengaksesnya karena tertutup gemerlap panggung.
Kitab Kuntara Raja Niti memperingatkan hal ini dalam sebuah petuah: “Anak jama kulu kalak Lampung, sai bejuluk beadek, pi’il pesenggiri, nemui nyimah, nengah nyappur, sakai sambayan.” (“Seorang anak keturunan orang Lampung, haruslah yang berjuluk beradek, memiliki pi’il pesenggiri, terbuka dan ramah, mampu bergaul, dan tolong-menolong.”)
Analisis Kutipan: Kata kuncinya adalah “sai” (haruslah). Ini adalah imperatif, sebuah kewajiban. Identitas ke-Lampung-an tidak ditentukan oleh genetik semata, tetapi oleh kemampuan menjalankan nilai-nilai ini. Jika pemerintah hanya fokus pada pelestarian genetik budaya (tarian, musik, pakaian) dan mengabaikan pelestarian nilainya, maka lambat laun identitas itu akan punah. Generasi muda mungkin masih bisa menari, tetapi mereka tidak lagi memahami mengapa mereka menari dan untuk apa.
Lalu, apa yang harus dilakukan? Pemerintah tidak perlu menghapus festival. Festival bisa menjadi pintu masuk yang baik. Namun, ia harus diikuti dengan program substansial di belakangnya:
• Pendidikan Adat di Sekolah: Mengintegrasikan nilai Kuntara Raja Niti ke dalam kurikulum muatan lokal, bukan sekadar mengajarkan tarian.
• Digitalisasi Naskah Kuno: Alih-alih mengubur naskah, pemerintah harus memimpin proyek digitalisasi dan penerjemahan naskah-naskah kuno seperti Kuntara Raja Niti agar bisa diakses generasi muda.
• Memberdayakan Penyimbang: Penyimbang adat adalah guardian of knowledge. Program pelatihan dan pendanaan harus dialirkan kepada mereka untuk membuka Sekahan Adat, bukan hanya mengundang mereka untuk memberikan sambutan di festival.
• Festival yang Edukatif: Menghadirkan festival yang tidak hanya menampilkan, tetapi juga mengajak pengunjung memahami makna di balik setiap ritual, tarian, dan permainan.
Dilema antara festival seremonial dan pelestarian substansial adalah pilihan antara memelihara jasad budaya atau menghidupkan jiwanya. Pemerintah daerah memiliki tanggung jawab besar untuk tidak hanya menjadikan adat sebagai komoditas pariwisata, tetapi sebagai jantung dari pembangunan karakter masyarakat Lampung. Seperti pesan tersirat dari kisah Ratu Sanggar: jangan biarkan naskah-naskah berharga terkubur di bawah panggung keseremonian. Gali, pelajari, dan hidupkan kembali, agar cahaya damar adat Lampung yang sejati tidak pernah padam, menerangi jalan menuju masa depan yang tidak kehilangan akar. (*)
Sumber Referensi Terverifikasi:
- Kuntara Raja Niti. Naskah adat Lampung Pepadun. (Tersedia dalam bentuk transliterasi dan terjemahan di Pusat Dokumentasi Kebudayaan Lampung).
- Adryanto, N. (2018). Filosofi Pi’il Pesenggiri: Etika Sosial Masyarakat Adat Lampung. Bandar Lampung: Pustaka Ladang Khatulistiwa.
- Hilman, D. (2020). Dari Sekala Brak ke Sekala Modern: Dinamika Identitas Budaya Lampung di Era Global. Jurnal Antropologi Indonesia, Vol. 41(2). (Tersedia digital di jurnal.ui.ac.id).
- Suryadi, A. (2019). Tapis dan Budaya Lampung: Makna Simbolik dan Transformasi. Yogyakarta: Penerbit Ombak.