Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
HATIPENA.COM- Banyak memuji kesuksesan delegasi dagang Prabowo minta discount ke Donald Trump. Hasilnya, dari 32 persen turun jadi 19 persen. Barang dari Amerika, nol tarif. Sukses? Entahlah, tapi ramai memuji Prabowo. Mari kita ungkap lagi kisah negeri kita yang mencoba “melawan” negara super power sambil seruput kopi tanpa gula, wak!
Inilah kisah cinta sepihak paling menyayat hati dalam sejarah perdagangan internasional. Indonesia, negara yang selama 61 bulan berturut-turut mencatat surplus dagang dengan Amerika Serikat, sejak Mei 2020 sampai Mei 2025, akhirnya harus menerima hadiah yang mengejutkan, tarif impor sebesar 19 persen. Hadiah ini, tentu saja, diberikan dengan senyum manis oleh Donald Trump. Senyum yang kira-kira berarti, “Kamu terlalu untung, jadi izinkan aku menyeimbangkan semesta… dengan hukuman.”
Ya, pada 2024 saja, Indonesia surplus sebesar US$17,9 miliar dari perdagangan barang dengan AS. Sebuah rekor yang bikin bangga, sekaligus bikin gemetar, karena di dunia dagang internasional, kalau you terlalu sukses, sampeyan dicurigai. Apalagi kalau ikam bukan sekutu NATO. Apalagi kalau akang ekspor terlalu banyak minyak sawit, bahan bakar mineral, dan baja, sementara panjenengan cuma impor jagung dan mesin dari Amerika.
Surplus ini membuat Indonesia terlihat seperti murid pintar yang terlalu sering dapat ranking satu, sampai akhirnya guru, dalam hal ini Presiden Trump, memutuskan untuk mengacak-ngacak lembar jawaban ujian. Sejak 1980-an, Indonesia memang langganan diintervensi, kuota tekstil, tuduhan dumping, pencabutan fasilitas GSP, dan sekarang… diskon tarif dari 32 persen ke 19 persen yang lebih mirip potongan kuku dari potongan harga.
Menteri Airlangga Hartarto pun tampil di layar kaca dengan senyum yang ambigu. Bersama juru bicara Haryo Limanseto, mereka menjelaskan bahwa ini adalah hasil negosiasi. Bahwa kita berhasil mencegah bencana. Bahwa tarif 32% telah diubah menjadi tarif 19 persen. Bahwa kita seharusnya bersyukur. Karena lebih baik jatuh dari sepeda daripada ditabrak truk trailer.
Tapi tunggu dulu. “Diskon” ini tidak gratis. Sebagai gantinya, Indonesia harus membeli energi dari AS senilai US$15 miliar. Ditambah produk pertanian sebesar US$4,5 miliar. Dan ya, 50 pesawat Boeing, termasuk seri 777. Boeing, yang kadang lebih banyak recall-nya dari berita cerai selebriti.
Kita juga membebaskan barang AS dari segala tarif dan hambatan. Apple dan Microsoft tak lagi diwajibkan memenuhi aturan TKDN. Sepuluh komoditas impor kita longgarkan. Produk AS diberi status Most Favored Nation, dengan tarif hanya 0–5 persen.
Apa yang kita dapat? Kesempatan mengekspor minyak sawit dan sandal jepit tanpa dibakar tarif 32 persen. Peluang kerja sama strategis di bidang mineral dan teknologi, yang mungkin akan terwujud… jika dunia tidak kiamat duluan.
Tapi realitasnya, industri dalam negeri bersiap dihantam. Barang Amerika masuk tanpa hambatan. Pasar lokal terancam dikuasai mereka. Kita mungkin tetap ekspor, tapi dengan posisi jongkok.
Inilah paradoksnya, kita surplus, lalu kita dihukum. Kita unggul, lalu kita dituduh nakal. Kita terlalu menang, dan karena itu kita diminta membayar lebih. Dunia dagang tak suka pemenang diam. Dunia dagang hanya suka pemenang yang tunduk.
So, tarif 19 persen ini bukan sekadar angka. Ini adalah hukuman yang dibungkus dengan stiker diskon. Sebuah pesan dari Trump kepada Indonesia, “Kau terlalu pintar, sekarang belajarlah jadi bodoh yang patuh.”
Beginilah kisah ekonomi global. Kita tidak benar-benar bernegosiasi. Kita hanya menunggu untuk tidak ditinggal. Kita tidak sedang berdagang. Kita sedang menjual kedaulatan, dibungkus dengan pita bernama “hubungan strategis.” Silakan sebut ini kemenangan diplomasi. Atau kalau mau jujur, ini cinta sepihak yang disponsori neraca perdagangan.
Lalu kita pengopi di warkop? Tetap ngopi tanpa gula. Pendukung Prabowo semakin cinta. “Apa yang diputuskan Prabowo tentu untuk kebaikan rakyatnya.” Inilah negeri saya, negeri ente, negeri kita, wak. (*)
#camanewak