Penulis : Ririe Aiko
HATIPENA.COM – Beberapa hari yang lalu, saya melewati Jalan Trunojoyo Bandung di malam hari. Biasanya jalan ini lalu lintasnya lancar, paling cuma dilewati segelintir kendaraan. Tapi malam itu, saya terjebak dalam kemacetan absurd. Bukan karena perbaikan jalan atau ada konvoi pejabat, tapi karena pasar dadakan yang menjamur di sepanjang trotoar.
Yang menarik, di tengah berita ekonomi yang semakin suram, saham yang rontok, harga kebutuhan pokok melambung dan jumlah pengangguran naik, orang-orang justru makin kalap belanja. Booth-booth penuh sesak dengan transaksi berjalan, seolah hari itu menjadi hari belanja nasional. Saya jadi bertanya-tanya, apakah ini efek samping dari kelelahan kolektif dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi? Atau memang, ketika ekonomi sedang tak bersahabat, belanja jadi bentuk perlawanan paling nyata?
Fenomena ini sering disebut dengan istilah Doom Spending. Sebuah ironi di mana orang justru menghabiskan uang lebih banyak saat masa-masa sulit. Logikanya sederhana, kalau masa depan terasa suram dan sulit dikendalikan, setidaknya belanja bisa memberi rasa nyaman yang instan. Dalam dunia yang makin nggak jelas, orang mencari pelarian di hal-hal kecil yang bisa mereka genggam dan nikmati saat ini juga. Generasi saat ini kebanyakan lebih suka menikmati hidup dengan cara tidak menunda kesenangan, daripada memikirkan hal-hal rumit di depan.
Mungkin ini semacam terapi massal. Ketika berita di TV dipenuhi kabar PHK besar-besaran dan harga pangan naik tiap minggu, membeli sesuatu menjadi salah satu cara melepas stress, meski akhirnya setelah tabungan terkuras mereka akan dilanda stress yang baru.
Atau, bisa jadi orang sudah lelah mencoba rasional di tengah situasi yang tidak masuk akal. Kalau harga beras naik tapi gaji tetap, ya wajar kalau orang memilih membalas dunia yang absurd ini dengan belanja. Daripada duduk meratapi situasi, lebih baik membeli sesuatu yang memberi ilusi kebahagiaan, meski sementara.
Lagi pula, kalau tabungan makin tergerus inflasi dan investasi bikin stres, kenapa tidak mengubah uang jadi sesuatu yang bisa langsung dinikmati?
Dan di tengah kemacetan di Jalan Trunojoyo itu, saya sadar, mungkin bagi banyak orang, belanja bukan lagi sekadar kebutuhan atau gaya hidup. Ini tentang bertahan di dunia yang semakin sulit dimengerti. Jika ekonomi tak memberi jaminan masa depan yang cerah, setidaknya keranjang belanja memberi pelipur lara hari ini.(*)