Penulis: Vijae Yehezkiel Simanjuntak
MAHKAMAH telah resmi menyatakan bahwa dosen dapat menjadi advokat melalui Putusan Nomor 150/PUU-XXII/2024. Dasar permohonannya adalah adanya kerugian konstitusional yang dialami dosen akibat memiliki status jabatan fungsional dosen. Melalui putusan 150, Mahkamah merubah ketentuan UU Advokat yakni memperboleh dosen menjadi advokat dengan syarat:
- Telah lulus ujian kompetensi advokat yang diadakan oleh organisasi advokat;
- Status advokat diberikan dalam rangka pengabdian kepada masyarakat dan hanya dapat diberikan jika dosen PNS telah mengabdi sebagai pengajar sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun di perguruan tinggi yang bersangkutan;
- Harus bergabung dan telah mengabdi minimal 3 (tiga) tahun secara berturut-turut pada lembaga bantuan hukum atau nama lain yang dibentuk perguruan tinggi bersangkutan dan tidak diperbolehkan membuka kantor hukum (law firm)sendiri dan hanya memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma (prodeo/probono) untuk masyarakat yang secara ekonomi tidak mampu yang dibuktikandengan surat keterangan dari pejabat yang berwenang;
- Lembaga bantuan hukum perguruan tinggi dimaksud telah terakreditasi pada kementerian yang berwenang;
- Jumlah advokat dalam lembaga bantuan hukum atau nama lain dimaksud tidak melebihi dari jumlah bagian/departemen fakultas hukum pada perguruan tinggi dimaksud;
- Setiap pemberian bantuan hukum sebagaimana dimaksudkan pada poin 3 harus mendapat izin dan setelah selesai harus melaporkan kepada pimpinan perguruan tinggi, in casu dekan fakultas hukum;
- Tidak bergabung dan aktif sebagai anggota dalam organisasi advokat.
Putusan a quo juga melebihi apa yang menjadi permohonan pemohon. Meskipun terbukti bertentangan dengan konstitusi, Mahkamah merasa penting memberikan syarat terhadap dosen yang ingin menjadi advokat dengan dasar untuk menyeiimbangan tanggung jawab dosen yang besar.
Menarik apabila melihat syarat dosen untuk menjadi advokat yang hanya bisa memberikan bantuan hukum secara probono.
Artinya, putusan ini memberikan peluang kapada dosen untuk beracara dalam peradilan layaknya advokat dengan syarat tidak boleh mendapatkan bayaran. Hal ini sebagai upaya Mahkamah untuk tidak memberikan risiko terhadap tanggung jawab dalam Tri Dharma Perguruan tinggi yang mungkin saja akan terganggu.
Implikasi yang muncul adalah terganggunya tanggung jawab dosen sebagai pengajar yang benar-benar aktif kepada mahasiswa. Hari-hari ini sebagian kampus di Indonesia justru dilanda stigma mengenai “kuliah yang penting masuk kelas”.
Stigma semacam ini hadir dari berbagai alasan yang salah satunya adalah kualitas pendidikan di dalam kelas. Seringkali dosen memilih untuk memberikan tugas pengganti dengan dalih “agar mahasiswa menggali materi sendiri” adalah pilihan yang harus dilakukan akibat beban kerja dosen yang cukup banyak.
Tidak hanya mengajar, dosen pun diwajibkan untuk melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Bahkan melalui Beban Kerja Dosen (BKD), pengajar di perguruan tinggi mewajibkan untuk selalu melakukan publikasi jurnal.
Beban kerja yang besar harus diseimbangkan dengan gaji yang besar.
Namun sayangnya kesejahteraan dosen pun masih memiliki PR besar bagi pemerintah. Peneliti di Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Milda Istiqomah mengungkapkan, hanya ada sembilan persen dosen di Indonesia yang menerima gaji lebih dari Rp5 juta per bulannya.
Milda Istiqomah juga menyatakan bahwa artinya terdapat 91 persen gaji dosen yang tidak layak, tidak sesuai dengan beban kerja, dan tidak sebanding dengan apa yang diterima.
Kesejahteraan yang ironis membuat mereka (dosen) harus memikirkan berbagai cara untuk memenuhi kehidupan diri dan keluarganya. Keadaan membuat berbagai oknum dosen melakukan hal yang menciderai esensi tempat pendidikan, seperti melakukan gratifikasi, melakukan berbagai jualan dengan timbal balik nilai kepada mahasiswa. Bahkan seringkali mahasiswa tidak mendapatkan nilai yang baik hanya kerena tidak membeli bukunya.
Risiko Lahan Transaksi Dosen sebagai Advokat
Kendatipun Mahkamah secara jelas memberikan syarat mengenai batasan bantuan hukum yang dapat diberikan dosen sebagai advokat, namun faktanya hal ini sangat sulit ditegakkan. Bantuan Hukum secara probono yang ditetapkan Mahkamah hanya akan membuat tiga kemungkinan.
Pertama, seorang dosen akan enggan untuk menjadi advokat. Hal ini karena adanya beban kerja yang berat, sehingga dosen merasa tidak ingin melakukan hal yang tidak mendapatkan keuntungan.
Kedua, seorang dosen akan menjadi advokat. Kendatipun ketentuan Putusan 150 hanya mengamantkan dosen untuk melakukan bantuan hukum secara probono, namun akan tetap adanya bentuk harapan dan/atau melakukan transaksi dengan tujuan memberikan timbal balik. Hal ini sangat dapat terjadi akibat kebiasaan kita yang “tidak enakan” atau juga biasa disebut dengan “Asean Value.”
Ketiga, seorang dosen akan menjadi advokat untuk membantu rakyat dengan tulus. Meskipun hal ini juga dapat terjadi, namun melihat realitas yang ada sepertinya pilihan pertama dan kedua jauh lebih banyak akan terjadi. Hal ini tidak lain karena sektor ekonomi yang dihadapi oleh dosen.
Risiko Conflict of Interest dan Benturan Prinsip
Implikasi terhadap putusan 150 adalah Adanya benturan kepentingan yang terjadi antara ASN dengan Advokat. Hal ini dikarenakan kedudukan PNS yang berbeda dengan Advokat.
Seorang PNS dengan jabatan fungsional dosen, terikat pada sejumlah ketentuan yang mengatur pembatasan dirinya sebagai abdi negara dan aparatur pemerintahan.
Pembatasan itu, antara lain, dituangkan melalui Undang-Undang (UU) 23 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri , PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil sebagaimana diubah dengan PP Nomor 17 Tahun 2020 (PP 17/2020), dan kode etik PNS yang diberlakukan oleh kementerian/lembaga atau instansi masing-masing.
Sedangkan, seorang advokat tidak memiliki keterikatan dengan peraturan dan kode etik a quo karena advokat bukanlah abdi negara dan aparatur pemerintahan, dan keterikatan profesinya adalah dengan apa yang diatur dalam UU 18/2003 dan KEAI sebagai pedoman berperilaku dan menjalankan fungsi dan tugas seorang advokat.
Sehingga tentu akan adanya benturan prinsip yang tertuang dalam masing-masing ketentuan peraturan perundang-undangan antara PNS dan Advokat. Hal ini akan membuat dan berisiko terjadi conflict of interest terhadap pelaksanaan Putusan 150.
Dengan hadirnya putusan ini, pemerintah harus menyesuaikan berbagai peraturan perundang-undangan baik dari tingkat Undang-Undang maupun peraturan menteri. Kajian komprehensif terhadap putusan ini harus dilakukan untuk memisahkan serta tetap menjalankan fungsi sebagaimana mestinya. (*)
Sumber:
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 150/PUU-XXII/2024
Patria Palgunadi, 2018, Reposisi Bantuan Hukum Secara Probono Oleh Organisasi Bantuan Hukum Dalam Kajian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum, Jurnal USM Law Review
Rilis Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, Hasil Penelitian Terhadap Gaji Dosen di Indoensia.