Rosadi Jamani
(Ketua Satupena Kalbar)
LANGIT baru saja cerah setelah badai panjang. Mahkamah Konstitusi, sang pahlawan hukum, dengan gagah berani menghapus PT 20 persen. Rakyat bersorak! Kemenangan bagi demokrasi! Panggung pemilihan presiden kini terbuka lebar. Semua orang bisa jadi kandidat, mulai dari ketua karang taruna hingga bintang TikTok.
Tapi, tunggu. Di sudut gedung DPR, para wakil rakyat menatap ini dengan dahi berkerut. Wajah mereka tegang, seolah baru mendengar gosip bahwa planet Mars akan mencalonkan presidennya sendiri. “Terlalu banyak calon akan merusak demokrasi!” seru mereka. Drama pun dimulai.
DPR RI, dengan wajah penuh keprihatinan ala sinetron primetime, memutuskan untuk bertindak. Mereka tidak bisa membiarkan demokrasi “liar” begitu saja. “Kalau calon presiden kebanyakan, bagaimana rakyat mau memilih dengan benar?” kata mereka. Seolah-olah rakyat Indonesia tak pernah lulus ujian multiple choice.
Ketua Komisi II DPR, Rifqinizamy Karsayuda, muncul sebagai aktor utama. “Kita harus membatasi jumlah calon! Demi kualitas demokrasi,” katanya, seperti seorang bapak yang melarang anaknya makan mi instan karena “bisa merusak kesehatan.”
Norma-norma baru akan dirumuskan setelah reses. Ya, setelah reses. Karena, tentu saja, kerja keras menjaga demokrasi harus diawali dengan istirahat panjang.
Mari kita bayangkan, wak! Tanpa batasan PT 20 persen, daftar calon presiden mungkin akan lebih panjang dari skripsi mahasiswa yang kehabisan referensi. Ada calon yang menjanjikan Indonesia jadi kekuatan ekonomi dunia. Ada juga yang ingin mengganti nama negara menjadi “Republik Bahagia Bersama.”
Debat capres pun akan menjadi pertunjukan epik. Moderator berdiri seperti komandan perang, mencoba meredakan hujan interupsi. Sementara para calon saling serang dengan argumen dan janji kampanye yang makin lama makin absurd.
Di satu sudut, seorang calon memamerkan rencana membangun jembatan dari Sabang ke Merauke. Di sudut lain, ada yang mengusulkan program subsidi nasional untuk… kucing jalanan. Rakyat? Mereka bingung. Tidak tahu harus memilih siapa. Tapi yang pasti, mereka punya stok meme politik untuk setahun penuh.
DPR beralasan, terlalu banyak calon bisa mengurangi kualitas demokrasi. Tapi, mari kita bertanya dengan hati kecil kita, apakah ini tentang kualitas demokrasi atau sekadar ketakutan bahwa kekuasaan yang manis itu akan terbagi lebih rata?
Mungkin, bagi sebagian orang di gedung parlemen, demokrasi itu seperti pesta eksklusif. Kalau semua orang bisa masuk, apa artinya menjadi tamu VIP?
Begitulah, drama ini akan terus bergulir. DPR RI akan kembali dari reses, membawa aturan-aturan baru untuk “melindungi” rakyat dari pilihan yang terlalu banyak.
Rakyat, seperti biasa, hanya bisa menonton. Sebab, di negeri ini, demokrasi sering kali bukan tentang kita. Demokrasi adalah panggung megah, di mana kita penonton setia yang hanya diberi Bansos, eh salah kopi maksudnya. Sementara aktor utamanya sibuk mencuri perhatian dan kursi empuk.
#camanewak