Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
HATIPENA.COM – Cerita dugaan korupsi kuota haji makin panas. Walau belum ada tersangka, tapi KPK makin menyala. Nampaknya status tersangka segera diumumkan ni. Apa kisah terbaru drama kuota haji ini, simak narasinya sambil seruput kopi tanpa gula, wak!
Jakarta kembali bergetar. Bukan karena gempa tektonik. Tapi, karena KPK turun tangan ke rumah mantan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, di Condet, Jakarta Timur. Konon, bukan malaikat pencabut nyawa yang datang, melainkan malaikat berbaju rompi biru bertuliskan tiga huruf keramat, K-P-K. Mereka membawa senjata paling sakti, surat perintah penggeledahan. Yang mereka dapat? dokumen, ponsel, serta barang bukti elektronik yang siap dijadikan kitab suci baru dalam sidang-sidang drama pengadilan.
Tak berhenti di sana, para ksatria KPK juga menyatroni rumah seorang ASN Kemenag di Depok. Dari sana, mereka tak menemukan jin atau tuyul, melainkan sebuah Toyota Innova Zenix, mobil yang mendadak berubah status, dari kendaraan pribadi menjadi kendaraan negara. Drama ini layak masuk Netflix, judulnya, “Dari Condet ke Depok: Perjalanan Suci Mobil Disita.”
Namun babak sebelumnya jauh lebih filosofis. KPK ternyata sudah lebih dulu menggeledah kantor Kemenag, khususnya Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU). Dari sana, tersita dokumen sakral, Surat Keputusan Menag tentang tambahan 20 ribu kuota haji 2024. Lima belas halaman kertas itu, dalam dunia mistik hukum, nilainya lebih mahal dari emas Antam, karena ia jadi kunci membuka pintu surga penyidikan. Bedanya, surga ini penuh lampu sorot media.
Masalahnya, ada pula kantor travel haji yang tak kooperatif. Bukannya menyuguhkan teh manis untuk penyidik, mereka malah diduga menghilangkan barang bukti. Bayangkan, barang bukti diperlakukan seperti mantan pacar yang fotonya harus cepat-cepat dihapus dari galeri. KPK pun mengingatkan dengan bahasa filsafat hukum, jangan main-main, ada Pasal 21 KUHP tentang perintangan penyidikan. Singkatnya, siapa pun yang halangi, bisa ikut-ikutan masuk penjara. Gratis tanpa antrean, tak perlu kuota.
Di balik layar, fakta yang lebih menggelikan terbongkar. Ada sekitar 10 travel besar yang paling diuntungkan, sementara lebih dari 100 travel ikut terlibat dalam pembagian kuota khusus. Inilah yang disebut demokrasi korupsi, semua dapat bagian, hanya proporsinya berbeda. Setiap jemaah yang diberangkatkan lewat jalur khusus itu, konon ada “ongkos siluman” antara USD 2.600 sampai USD 7.000, alias Rp 42 juta hingga Rp 113 juta per kuota yang diduga mengalir ke oknum Kemenag. Bayangkan, untuk pergi ke tanah suci, tiket langitnya ternyata bisa dibayar dengan setoran duniawi. Mekanisme spiritual berubah jadi mekanisme transaksional.
Tentu publik bertanya sudah ada tersangka belum? Jawabannya, belum. KPK baru naikkan status ke penyidikan sejak 9 Agustus 2025, dan baru mengeluarkan jurus andalan lain, pencekalan. Ada tiga nama yang dicekal, yakni mantan Menag Yaqut sendiri, staf khususnya Ishfah Abidal Aziz, dan bos travel Maktour, Fuad Hasan Masyhur. Mereka kini seperti pemain catur yang tak boleh keluar papan permainan. Tak bisa kabur ke luar negeri, meski mungkin masih bisa kabur ke grup WA alumni.
Ironi pun menetes bagai hujan asam. Di tanah yang katanya religius, urusan ibadah termulia justru dijadikan ladang korupsi. Filsafatnya sederhana, kalau korupsi itu dosa, maka dosa ini sudah all you can eat, prasmanan terbuka untuk birokrat, pengusaha, hingga politisi. Umat yang mestinya berangkat dengan niat suci, justru dipajaki oleh tangan-tangan kotor. Inilah teater absurd, di mana haji berubah jadi komoditas, dan iman berubah jadi mata uang.
Maka, wahai bangsa yang katanya religius, bersiaplah. Episode selanjutnya mungkin akan lebih seru. Siapa yang akhirnya ditetapkan tersangka? Apakah ada adegan tangisan dramatis, atau justru sandiwara politik ala sinetron prime time? Satu hal pasti, di negeri ini, jalan menuju Baitullah sering lebih berliku dari jalan menuju penjara. (*)
#camanewak