Rosadi Jamani
(Ketua Satupena Kalbar)
SAYA kira guru honorer, Supriani saja, dijanjikan lulus PPPK, nyatanya ambyar. Eh, ada lagi. Kali ini menimpa bidan, Rusmiati. Motor sudah diserahkan, eh ditarik lagi.
Bayangkan ini, wak! Ente seorang bidan. Bukan bidan biasa, tapi bidan teladan. Ente berjibaku di pedalaman, menembus belantara, melintasi lembah dan gunung, demi satu tujuan mulia, menyelamatkan nyawa. Kemudian, suatu hari, mimpi indah itu datang. Pemerintah bilang, “Hadiah untukmu: sepeda motor!” Ente bahagia. Oh, betapa bahagianya! Lalu, seperti dalam film komedi slapstick, motor itu diambil lagi. Prank!
Itulah kisah Bidan Rusmiati Aminuddin, pahlawan kesehatan dari Desa Taloba, Polewali Menter. Selama 14 tahun, dia melayani masyarakat dengan sepenuh hati, tanpa kendaraan mentereng, tanpa fasilitas wah. Bahkan angka kematian ibu dan anak di desanya? Nol. Ya, NOL! Sebuah prestasi gemilang yang membuatnya menjadi bidan teladan nasional.
Hari itu, November 2024, di acara Hari Kesehatan Nasional. Rusmiati dipanggil oleh PJ Bupati. Dalam suasana penuh haru, kunci motor diserahkan. “Ini hadiah untukmu,” katanya, seolah memberinya tiket ke surga dunia. Rusmiati tersenyum, teman-temannya berfoto ria. Motor itu jadi simbol penghargaan atas dedikasi luar biasa.
Namun, apa yang terjadi setelah upacara? Motor itu raib, ditarik oleh Pemkab. Alasannya? Administrasi belum selesai. Eh, serius? Ini motor hadiah atau soal tanah sengketa?
Beberapa minggu kemudian, Rusmiati mendatangi Dinas Kesehatan. Jawaban mereka seperti cerita sinetron, motor itu ditarik dealer karena belum dilunasi. Tunggu dulu. Ini motor hadiah, kan? Kok malah jadi kredit macet?
Kepala Dinas Kesehatan, Mustaman, memberikan klarifikasi yang lebih dramatis lagi. Penganggaran motor sudah diajukan, tapi belum disetujui. Apa artinya? Hadiah ini hanya sebatas konsep? Sebuah gagasan mulia tanpa realisasi? Sebuah janji yang lebih cair dari air di sungai pedalaman?
Rusmiati tak pernah mengeluh. Jalan terjal, hutan lebat, dan tantangan alam tak pernah menghentikannya. Dia ikhlas melayani. Saking ikhlasnya, mungkin dia tak perlu motor. Tapi penghargaan itu penting. Bukan soal fisiknya, tapi simbol dari pengakuan atas kerja kerasnya.
Dia berkata, “Ini buah perjuangan 14 tahun saya bertugas di desa. Saya selalu bersabar meski banyak tantangan. Angka kematian ibu dan bayi nol adalah sejarah untuk saya.” Tapi sekarang, sejarah lain yang tertulis, drama motor hadiah yang tak kunjung nyata.
Ada satu pelajaran yang bisa kita ambil. Jangan pernah meremehkan kekuatan janji kosong. Itu bisa membuat seseorang yang sudah ikhlas jadi patah hati. Tapi, mungkin, bagi pemerintah, ini hanya soal teknis. Administrasi. Penganggaran. Alasan yang entah kenapa selalu terdengar masuk akal, sampai kita bosan mendengarnya.
Mari kita akhiri cerita ini dengan satu pertanyaan sederhana, apakah Rusmiati benar-benar membutuhkan motor itu? Tidak. Yang dia butuhkan adalah pengakuan. Tapi sayangnya, di negeri ini, penghargaan sering kali berupa drama. Kita? Penonton setia yang hanya bisa tertawa pahit.
#camanewak