Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Drama Sepekan Tulisan Saya

February 13, 2025 11:57
IMG-20250213-WA0133

Ilustrasi : Wak Rojam Rosadi Jamani
Penulis : Rosadi Jamani *)

HATIPENA.COM – Saya mau mereview tulisan dalam seminggu ini. Review tulisan saya, bukan tulisan orang lain. Seperti apa? Siapkan kopinya, wak.

Sepekan ini linimasa penuh gejolak, seperti samudra diombang-ambing badai. Ada yang bersorak bahagia, menangis, geram, ada yang mendadak jadi hakim moral, dan ada pula yang tanpa dosa menjiplak tulisan saya seperti perompak tanpa etika. Fokus utama? Megawati Hangestri Pertiwi yang mencetak sejarah di Liga Voli Korea. Selebihnya? Drama politik tanah air yang seakan-akan disutradarai oleh tangan-tangan tak terlihat dengan skrip penuh plot twist.

Oh ya, alhamdulillah, jumlah follower saya makin bertambah. Sedang menuju 30K. Masih sedikit bila dibanding Om Deddy Stafsus Menhan. Terima kasih, kalian yang dengan sukarela menjadi pembaca setia. Semoga betah, meski sering saya sajikan tulisan yang bisa membuat alis mengernyit dan hati berkecamuk. Maaf bagi yang suka mewek oleh goresan pena saya.

Baik, kita masuk ke babak utama, plagiarisme. Fenomena yang lebih menyeramkan dari hantu gentayangan di malam Jumat. Ada laporan masuk, tulisan saya dicomot, dipajang di akun besar. Saya cek, dan ternyata nama saya masih ada. Baiklah, minimal ada sisa adab. Bagi saya tak masalah. Namun, pagi ini, laporan baru masuk lagi. Kali ini, tulisan saya ditayangkan utuh, tapi nama saya dihapus, judul diganti, dan pelakunya entah merasa seperti Shakespeare atau Andrea Hirata yang mendadak ilhamnya turun dari langit. Ini seperti mencuri ayam di siang bolong lalu beralasan ingin berbagi makanan dengan tetangga. Saya tidak marah, hanya ingin bertanya, adabmu ke mana, kawan?

Saya, dengan keanggunan seorang ksatria pena, menyampaikan protes. Minimal izin dulu, setidaknya supaya saya tidak merasa seperti seorang juru ketik tak bernama. Namun, jawaban si admin mencengangkan, “Kami hanya ingin menyebarkan pesan ini lebih luas.” Ya terima kasih sih, tapi kalau begitu caranya, saya akan mulai mencantumkan watermark di setiap kata. Atau mungkin saya harus merekam video dramatis ala pidato kenegaraan, supaya tulisan saya tidak lagi diklaim orang. Terus terang saya tak suka. Ia malah siap meminta maaf ke publik. Saya tak tanggapi lagi. Cukup netizen yang tahu. Gini wak. Sejelek apa pun karya kita, patut dibanggakan. Sebaliknya, sehebat apa pun sebuah karya, tak ada arti bila itu karya orang lain. Bangga lah dengan hasil goresan tangan sendiri. Walau pun tulisan ini tak bisa menghilangkan praktik korupsi, eh salah, plagiarisme, paling tidak saya sudah speak up seperti halnya Hanifah speak up. Emosi sudah saya curahkan lewat untaian kata-kata ini.

Sekarang kita masuk ke bagian yang lebih kontroversial, “ehem” yang selalu saya sematkan di nama Noh Ran. Seisi jagat maya gempar. Mengapa hanya Noh Ran yang mendapat kehormatan “ehem”? Kenapa bukan Mega, bukan yang lain? Ada yang bertanya serius, ada yang cemburu. Wahai kaum penasaran, izinkan saya memberi pencerahan. Noh Ran bukan hanya soal wajah imut atau senyum maut, bukan! Dia adalah pejuang di lapangan. Ia jungkir balik, berguling, berlari, terbang sana sini seperti memiliki ilmu ginjang, meluncur bak ninja tanpa bayaran. Untung saja tak salto dan koprol. Libero yang jarang mendapat sorotan, tapi semalam, dunia berubah. Ia dianugerahi MVP. Sebuah momen epik yang hampir setara dengan pahlawan pulang dari perang. Ehem..Noh Ran, spesial untuk si anak semata wayang dan para libero di rumah dan lapangan. Camanewak? Paham ya, ehem.

Kesimpulan review tulisan saya; 1) Jangan jadi maling karya orang kalau tak ingin disebut maling. 2) Boleh mengidolakan siapa saja, termasuk si ehem Noh Ran, asal tidak mendadak mengganti nama anak jadi Noh atau Ran. 3) Mega tetap membanggakan, politik tetap bikin kepala pening, dan hidup terus berjalan. Bersiaplah untuk episode berikutnya, yang pasti tak kalah dramatis!

Sampai jumpa di edisi review berikutnya. Kalian yang membuat saya belum mau berhenti ngopi tanpa gula.(*)

#camanewak

*) Ketua Satupena Kalbar