Rosadi Jamani
(Ketua Satupena Kalbar)
LANGIT pecah. Waktu terhenti. Sebuah tragedi mengoyak angkasa, mencabik harapan, memusnahkan tawa yang seharusnya mengisi hari-hari terakhir tahun ini. Dua burung besi jatuh. Dua perjalanan berakhir tanpa pernah sampai.
Di Bandara Internasional Muan, roda yang tak lagi berputar sempurna menjadi saksi bisu. Sebuah tabrakan kecil, seekor burung melayang, menjadi pembuka bagi tragedi besar. Tubuh pesawat tergelincir, melaju liar, menghancurkan segalanya. Sebanyak 94 jiwa terlempar ke dalam kekosongan, seperti lilin-lilin kecil yang dipadamkan paksa di tengah badai. Langit malam itu diam. Tapi keheningan sering kali lebih nyaring dari jerit kematian.
Empat hari sebelumnya, jauh di Aktau, Kazakhstan, sebuah pesawat lain mengais hidup di tengah kabut. Tetapi langit terlalu gelap, tak ada arah. Di antara spekulasi dan teka-teki, mereka berkata ada drone yang menunggu seperti algojo di udara, atau mungkin sistem pertahanan yang salah membaca mangsa.
Pesawat itu jatuh, meremukkan 39 tubuh, menggoreskan luka pada 28 lainnya. Nyawa melayang di tempat asing, terhempas tanpa pamit, tanpa pelukan terakhir.
Langit menyimpan rahasia, dan rahasia itu adalah luka. Siapa yang akan menggugat burung yang hanya terbang? Siapa yang akan mengadili kabut yang setia menyelimuti bumi? Siapa yang bisa menjawab mengapa sebuah tahun harus ditutup dengan noda darah?
Mereka yang pergi, pergi tanpa pernah tahu bahwa perjalanan mereka akan menjadi berita. Nama-nama mereka sekarang menjadi statistik, deretan angka dingin yang dibaca tanpa rasa. Di rumah-rumah yang kosong, orang-orang hanya menunggu. Tapi apa yang ditunggu? Tidak ada yang datang. Tidak ada yang kembali.
Dunia berputar terlalu cepat untuk duka. Segalanya akan dilupakan. Landasan akan diperbaiki, kabut akan hilang, drone akan terus terbang. Tetapi bagi mereka yang kehilangan, waktu tidak pernah benar-benar bergerak. Setiap detik menjadi labirin tanpa jalan keluar.
Inilah tahun yang menutup dirinya dengan tangisan. Tahun yang memaksa manusia menerima kenyataan bahwa langit, seluas apa pun ia, tidak pernah benar-benar menjadi milik kita. Angkasa adalah arena di mana mimpi bisa terbang, tetapi juga tempat di mana harapan hancur menjadi debu.
Maka, di ujung tahun ini, kita berdiri. Menatap ke atas. Mencari makna di antara bintang-bintang. Tapi bintang tidak bicara. Mereka hanya memandang dingin, seperti langit yang tetap biru setelah tragedi. Seolah-olah tidak ada yang pernah terjadi.
Ikut berbelasungkawa untuk seluruh korban.
#camanewak