Catatan Satire; Rizal Pandiya
Sekretaris Satupena Lampung
HATIPENA.COM – Setelah sekian episode menonton perseteruan Lisa Mariana versus Ridwan Kamil, kini muncul seorang influencer… eh, maksudnya Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi – pengganti Ridwan Kamil. Bedanya, yang satu di infotainment dan lainnya di media sosial.
Sejak dilantik pada 20 Februari 2025, pria yang lebih sering muncul di instagram, tiktok, dan snack video daripada di ruang rapat ini, segera dijuluki “Mulyono Jilid II” – sebuah gelar kehormatan untuk mereka yang mampu menirukan gaya Jokowi tanpa meniru bualannya.
Kalau dulu, Jokowi muda hobi nyelonong ke pasar, gang sempit, dan masuk gorong-gorong, Dedi juga doyan blusukan. Tetapi Jokowi datang bersama media mainstream, sedangkan Dedi datang dengan kamera, lighting, dan caption motivasional.
Ia menyebut ini sebagai “turba”, alias turun ke bawah, tapi kadang kita bingung, ini gubernur sedang menyapa rakyat atau sedang syuting sinetron realita? Ada adegan marah, sedih, haru, dan tentu saja – zoom in saat ia menatap langit seakan bersyukur kepada tuhannya. Konon karena jembatan putus atau mungkin memikirkan monetisasi dari YouTube yang sulit cair.
Dedi berhasil memangkas anggaran iklan dari Rp50 miliar jadi Rp3 miliar. Tapi jangan salah, bukan karena tak berpariwara – justru advertorialnya lebih masif, dengan format “daily vlog” yang menyaingi Ria Ricis. Setiap aksi – baik menegur kepala sekolah atau menyantuni anak-anak gelandangan, selalu masuk kamera. Barangkali ke depan, pelantikan kepala dinas pun akan disiarkan live dengan giveaway, seperti Baim Wong.
Meningkatkan anggaran perbaikan jalan dari Rp600 miliar menjadi Rp2,4 triliun itu sebuah prestasi yang patut ditiru oleh gubernur lain. Tapi kita tunggu apakah hasilnya akan seperti jalan tol Trans Sumatra, yang mulus tapi tak ramah bagi dompet rakyat.
Dedi juga janji CCTV dan PJU di mana-mana. Mungkin ke depannya, jalan rusak dibiarin dulu, supaya bisa dipakai buat konten dramatis ala gubernur, supaya menemukan sisi human interest penderitaan rakyat. Setelah itu baru diperbaiki agar viral di media sosial.
Mungkin ini bagian terbaik dari semuanya: bansos yang syaratnya vasektomi. Masyarakat miskin tak hanya dibantu, tapi juga disterilkan, demi efisiensi anggaran. Dari bantuan jadi pencegahan. Rupanya, slogan “lebih baik mencegah daripada mengobati” kini diartikan sebagai “lebih baik tak nambah anak daripada tak diberi bansos tiap tahun.”
Lalu taman hiburan di Puncak dibongkar demi menyelamatkan Jakarta dari banjir. Sebuah langkah mulia, meski warga Bogor jadi bingung dan menjadi merasa bersalah dan disalahkan. Tapi untung saja, kontennya tetap estetis, karena ada rekaman alat berat, tangisan warga, dan pidato gubernur dengan latar gerimis. Gaya Jokowi versi Netflix limited series.
Dedi, seperti Jokowi dulu, pandai membungkus kebijakan dalam cerita. Ia mengemas penggusuran dengan pelukan, penghematan dengan saweran, dan penertiban kaki lima dengan musik latar yang menggemaskan.
Namun, para pengamat kini mulai khawatir. Apakah ini pemimpin, atau sekadar bintang reality show yang punya kekuasaan? Apakah ini program kerja, atau campaign sosial untuk 2029?
Sebab seperti Jokowi, Dedi juga terlihat makin one man show. Keputusan sering diambil sendiri, tanpa tim atau wakil. Seperti admin media sosial yang terlalu percaya diri, semua dikerjakan sendiri karena takut estetikanya kacau.
Dengan cara ini, setidaknya Dedi sudah memangkas jalur birokrasi secara ekstrem. Kalau dulu kebijakan harus lewat rapat panjang dan persetujuan berbagai pihak, sekarang cukup pakai ring light, tripod, dan tinggal membuka KDM Channel saja.
Siapa sangka, dari sekian banyak program strategis Dedi Mulyadi, yang paling fenomenal justru datang dari dunia parenting. Dalam sebuah video viral, Dedi mengeluarkan gurauan sakral, ”Anak-anak yang tidak mau makan akan dijemput dan dibawa ke barak militer.” Sejak saat itu, Rafatar dan anak-anak balita pun langsung nurut. Sendok disuap tanpa drama, brokoli masuk mulut tanpa negosiasi.
Bahkan sayur pare pun kini jadi camilan darurat demi menghindari “jemput paksa” ala pasukan elite. Ibu-ibu menyebut ini sebagai revolusi gizi paling efektif sejak ditemukannya rendang tempe di warteg.
Bagi rakyat yang rindu pemimpin dekat rakyat, gaya Dedi terasa menyegarkan. Tapi bagi yang lebih suka substansi daripada isi konten, mungkin ini saatnya bertanya: “Apa kabar kebijakan yang tak viral?”
Sebab di era sekarang, lebih penting terekam daripada terlaksana, lebih baik bagi-bagi uang di medsos agar terlihat dermawan, dan yang paling menyedihkan, yang tak direkam, dianggap tak pernah dilakukan.
Selamat datang di era baru pemerintahan konten, karena konten adalah raja, kamera adalah saksi, dan rakyat… penonton setia. Dan bagi yang tidak setia, mereka pasti akan komen, “Mau jadi Presiden kok kayak gini amat, yak!” (*)