Catatan Satire; Rizal Pandiya
Sekretaris Satupena Lampung
HATIPENA.COM – Pencarian barang bukti ijazah Joko Widodo yang diduga palsu, mulai menemui titik terang tapi gelap lagi. Ini ibarat ngebongkar tupperware yang udah lama ditaruh di kulkas. Kita tahu dari luar baunya udah aneh, warnanya mencurigakan, dan keluarga udah wanti-wanti, “jangan dibuka ya, itu peninggalan zaman pasca-KKN.” Tapi rasa penasaran tetap menang dong.
Dan benar saja, begitu tutupnya dibuka – brrrrt! – bukan lauk, bukan sayur asem basi, tapi ijazah. Lengkap dengan stempel kabur, tanda tangan goyang, dan pas foto yang bikin kita mikir: “Lho, ini siapa ya? Kok kayak sepupu yang jarang pulang kampung?”
Selama bertahun-tahun, ijazah ini jadi artefak mistis yang hanya muncul saat pemilu, atau saat suhu politik naik dua derajat celcius. Tapi kali ini beda. Ada teknologi, ada face recognizer, ada face comparation, ada analisis softwere dari Roy Suryo yang katanya bisa mendeteksi wajah, stempel, sampai galau dalam format JPG.
Dan dari hasil analisis itu, publik dikejutkan oleh satu nama yang selama ini bersembunyi di balik lipatan sejarah: Dumatno Budi Utomo. Seorang direktur perusahaan yang diduga milik Luhut Binsar Panjaitan, seorang sepupu, dan – kemungkinan besar – seorang relawan wajah.
Ijazah ini bukan sembarang ijazah. Ia fotokopian, buram, dan agak-agak mistis. Kalau ditaruh di bawah sinar matahari pukul 2 siang, dia bisa memanggil kenangan kelam peradaban. Ada stempel yang dobel exposure, tanda tangan yang seperti hasil tugas anak TK, dan – yang paling seru – pas foto yang katanya mirip sepupu, sang Dirut perusahaan energi yang katanya nyambung sama menteri segala urusan ini.
Roy Suryo, mantan menteri yang kini merangkap dukun digital, tampil sebagai narasumber utama. Dengan penuh khidmat dan power-point yang pasti penuh clip-art, ia berkata, “Saya sudah analisis dengan softwere canggih, dan hasilnya, semuanya eror.”
Stempel eror, foto eror, nama juga eror. Bahkan ketika diklik dua kali, ijazah ini nggak bisa minimize. Lebih mengejutkan lagi, ternyata setelah dipakai face recognizer, wajah yang ada di ijazah itu mismatch dengan wajah Joko Widodo. “Ini bukan Jokowi,” kata sang pakar, “Ini Dumatno!”
Netizen pun heboh. Dari yang tadinya tenang memantau diskon skincare dan update gosip artis, timeline tiba-tiba dipenuhi oleh istilah berat seperti face recognizer, mismatch wajah, dan face comparation.
Temuan Roy Suryo mendadak jadi trending topic, bersaing ketat dengan video kucing naik motor dan ibu-ibu ngamuk di Indomaret.
Namun seperti biasa, dunia maya tak tinggal diam. Bantahan pun mengalir deras, lalu bilang hoax. Ada yang menolak hasil analisis Roy dengan dalih “softwere bisa salah.” Ada pula yang berkata bijak di kolom komentar, “Teknologi itu buatan manusia, jadi bisa salah. Tapi saya yakin Jokowi nggak mungkin palsu. Karena saya pernah lihat dia di TV waktu dia muda.”
Pertanyaannya kini berubah. Apakah teknologi bisa berdusta? Dan lebih penting lagi, siapa yang lebih pintar, software face recognizer… atau netizen yang belajar hukum hanya dari video TikTok berdurasi 59 detik?
Teknologi memang tak sempurna. Tapi menuduh teknologi berdusta, sambil menyebar bantahan via handphone buatan pabrik Shenzhen, adalah bentuk perlawanan digital yang cukup ironis. Seperti orang yang mengkritik Instagram sambil tetap rajin nge-like postingan mantan.
Lalu Dumatno itu siapa? Menurut Roy Suryo, ya itu tadi, mas sepupu yang mukanya menenangkan dan cocok jadi brand ambassador skincare kehutanan.
Tentu kita semua bertanya-tanya, kenapa Dumatno – yang konon katanya lebih cocok jadi figur di ijazah orang lain – bisa duduk manis sebagai Dirut PT Bara Toba Energi? Apakah dia memang ahli energi? Atau ahli menyimpan rahasia? Atau mungkin, ahli mengikhlaskan wajahnya dicetak hitam putih lalu distempel basah pakai cap jurusan teknologi kayu?
Teori pertama, Dumatno ini memang orang pintar. Pintar dalam artian pintar berada di lingkaran yang tepat. Karena di republik ini, kadang yang penting bukan siapa kamu, tapi siapa yang kamu kenal. Dan Dumatno – dengan wajah berbau akademik dan aroma kerabat – terbukti mengenal orang yang tepat: mantan presiden, sepupu sendiri, dan… Pak Luhut.
Luhut Binsar Panjaitan sendiri dikenal sebagai menteri yang memiliki kekuatan Avengers level dalam kabinet. Jika ada masalah, “Biar Luhut yang urus.” Kalau ada proyek, “Biar Luhut yang pegang.” Bahkan konon, jika ada petugas PLN ketiduran saat shift malam, Luhut bisa langsung turun tangan menggantikan.
Jadi, kalau Dumatno jadi Dirut di perusahaan milik Luhut, itu bisa saja bentuk “piagam penghargaan tak tertulis” – sebagai apresiasi telah “menyumbangkan wajah” demi kelulusan seorang anak bangsa yang kemudian jadi kepala negara.
Hadiah seperti ini wajar. Di negeri ini, orang yang bantu nitip absen saja bisa dikasih jabatan komisaris. Apa lagi yang bantu nyumbang pas foto. Lagi pula, ini sejalan dengan konsep gotong-royong ala digital. Di mana kamu bisa menyumbang apa saja: suara, data, wajah, atau ijazah – asal satu tujuan, yaitu meloloskan yang seharusnya tidak lolos.
Dan jika ini benar, maka kita sedang menyaksikan sejarah. Ijazah bukan cuma alat bukti pendidikan, tapi juga alat tukar kekuasaan dan loyalitas. (*)
Bandarlampung, 12 April 2025
#makdacokpedom