Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Ego, Narsisme, dan Kebutaan Diri

March 16, 2025 07:54
IMG-20250316-WA0048

Bagindo Muhammad Ishak Fahmi

Ciloteh “Catuih Ambuih”

HATIPENA.COM – Ada individu yang selalu merasa sebagai korban, padahal sering kali ia adalah pelaku dalam drama kehidupan yang ia ciptakan sendiri. Ia meminta pengertian dari dunia atas keterbatasannya, tetapi enggan memahami keterbatasan orang lain.

Ia menuntut keadilan dengan penuh semangat, namun ketika kepentingan pribadinya tersenggol, reaksi defensifnya bak tembok baja.

Ia selalu ingin menerima, namun memberi dianggap sebagai beban yang tak seharusnya ia tanggung. Dan ketika harga dirinya terusik, ia tak segan menghancurkan harga diri orang lain, seolah dunia ini hanya panggung yang diciptakan untuknya.

Fenomena ini erat kaitannya dengan Narcissistic Personality Disorder (NPD) atau gangguan kepribadian narsistik. Menurut American Psychiatric Association dalam DSM-5, individu dengan NPD memiliki kebutuhan mendalam akan kekaguman, merasa dirinya lebih istimewa daripada orang lain, tetapi di sisi lain sangat rapuh terhadap kritik.

Mereka kerap bersikap eksploitif dalam hubungan sosial, menuntut pemakluman tanpa ingin memahami, serta memiliki empati yang sangat minim.

Psikolog Jean Twenge dan Keith Campbell dalam The Narcissism Epidemic (2009) menjelaskan bahwa individu dengan kecenderungan narsistik cenderung melihat dunia dalam dua warna: mereka yang mendukungnya dan mereka yang mengancam egonya.

Mereka bisa menjadi sangat kritis terhadap sistem yang dianggap tidak adil, tetapi ketika ketidakadilan itu menguntungkan dirinya, mereka enggan mengakuinya.

Menurut psikoanalis Heinz Kohut, narsisme patologis terbentuk karena individu merasa kekurangan penghargaan di masa lalu, sehingga mereka menciptakan citra diri yang superior untuk menutupi luka batin yang tak mereka sadari.

Mereka melihat dunia dalam dua perspektif: orang yang mendukung mereka dan orang yang mengancam egonya. Segala bentuk kritik dianggap sebagai serangan pribadi, bukan sebagai masukan untuk pertumbuhan.

Seorang filsuf Stoik, Epictetus, pernah berkata, “Manusia tidak terganggu oleh apa yang terjadi, tetapi oleh cara mereka menafsirkan apa yang terjadi.” Dalam kasus NPD, tafsirannya selalu berpusat pada dirinya sendiri. Mereka gagal melihat bahwa dunia tidak berputar untuk menjatuhkan mereka, tetapi hanya berjalan sesuai dengan hukum sebab-akibat.

Contoh Kasus ; Bayangkan seorang karyawan yang vokal dalam memperjuangkan transparansi di tempat kerja, namun ketika kinerjanya dievaluasi dengan transparan, ia menuduh atasannya tidak adil.

Ia menuntut lingkungan kerja yang suportif, tetapi ketika diminta berkontribusi lebih, ia bersembunyi di balik alasan keterbatasan.

Saat dirinya mengalami ketidaknyamanan, ia merasa layak mendapatkan perhatian dan pemakluman, tetapi ketika koleganya berada dalam situasi yang sama, ia justru menghakimi mereka sebagai lemah atau tidak kompeten.

Dalam skala yang lebih luas, perilaku ini juga terlihat dalam dinamika sosial dan politik. Individu dengan pola pikir ini sering kali menjadi aktivis yang memperjuangkan nilai-nilai tertentu, tetapi dalam kehidupan pribadi mereka justru melakukan hal yang bertentangan dengan prinsip yang mereka serukan.

Mereka menuntut kesetaraan, tetapi tetap merasa dirinya lebih tinggi. Mereka berbicara tentang hak asasi, tetapi mengabaikan hak orang lain ketika bertabrakan dengan kepentingan pribadi mereka.

Antara Kebenaran dan Kebutaan Diri

Dalam bahasa yang lebih tajam, individu semacam ini ibarat hakim yang sibuk mengadili orang lain tanpa pernah melihat diri sendiri di cermin. Mereka membangun citra sebagai sosok yang bermoral, tetapi motif utamanya bukanlah keadilan, melainkan validasi atas egonya.

Mereka ingin dianggap sebagai suara kebenaran, tetapi hanya jika kebenaran itu berpihak kepada mereka.

Carl Jung pernah berkata, “Everything that irritates us about others can lead us to an understanding of ourselves.”
(“Segala sesuatu yang mengganggu kita tentang orang lain dapat membawa kita pada pemahaman tentang diri kita sendiri.”)

Namun, bagi mereka yang terjebak dalam narsisme, refleksi diri adalah hal yang paling dihindari. Karena mengakui kesalahan berarti menghancurkan ilusi keunggulan yang telah mereka bangun selama ini.

Pada akhirnya, dunia ini bukan hanya tentang bagaimana kita ingin diperlakukan, tetapi juga bagaimana kita memperlakukan orang lain.

Mereka yang terlalu sibuk membela harga dirinya sendiri, tetapi menginjak harga diri orang lain, akan menemukan bahwa kehormatan sejati bukanlah sesuatu yang bisa mereka tuntut, melainkan sesuatu yang harus mereka bangun dengan kesadaran dan ketulusan. (*)

Padang, 2025.

Berita Terkait