Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025

Eka Afriana, Kesurupan Demi CPNS

May 28, 2025 10:25
IMG_20250528_095412

Catatan Satire; Rizal Pandiya
Sekretaris Satupena Lampung

HATIPENA.COM – Kesurupan rupanya bukan cuma perkara mistis, tapi juga administratif. Lihat saja kisah mengharukan dari Eka Afriana, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Bandarlampung, yang namanya kini bersinar bukan karena prestasi pendidikan, tapi karena kemampuan supranaturalnya mengubah akta kelahiran.

Dilansir dari Harian Momentum, saat usianya sudah lewat 38 tahun – melewati batas maksimal usia CPNS 35 tahun – ia malah bisa masuk PNS dengan akta kelahiran baru.

Tentu saja, alasan kesurupan ini membuka jalan baru bagi generasi muda bangsa. Kalau sebelumnya orang harus sekolah tinggi, kuliah bertahun-tahun, lalu ikut pelatihan CPNS sambil puasa Senin-Kamis agar lolos, kini harus dilengkapi dengan kesurupan dulu.

Langkah ini tentu lebih murah, lebih spiritual, dan bisa dilakukan dari rumah. Tinggal duduk di depan lilin, panggil arwah leluhur, dan bisikkan, “Mbah, tolong mundurkan tanggal lahir saya tiga tahun ke belakang ya, supaya bisa diterima jadi ASN.”

Ini jelas prestasi. Negara kita memang penuh inovasi. Bahkan dalam hal dokumen palsu, Eka Afriana tak kalah dari drama Aries Sandi Darma Putra yang sudah menikmati jabatan bupati di Pesawaran. Tapi bedanya, di sini yang memalsukan dokumen bukan calon bupati, tapi calon PNS.

Yang bikin makin lucu adalah jabatannya sebagai Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Bayangkan, institusi yang seharusnya menjunjung tinggi nilai kejujuran, akhlak, dan pencatatan sipil yang valid, justru dipimpin orang yang mengubah identitas karena ‘ketempelan’. Kalau ini jadi role model, bisa jadi setiap pegawai yang akan naik pangkat, baca mantera dulu, supaya kesurupan.

Dan jangan lupakan, Eva Dwiana, sang Walikota Bandarlampung, yang merupakan saudari kembar Eka, tapi… kok akta kelahirannya beda? Eva lahir tahun 1970, Eka lahir 1973. Ini bukan sekadar anomali administrasi. Ini diduga praktik sim salabim dan pat gulipat. Apa mungkin, Eka nyangkut di pintu rahim selama tiga tahun sebelum brojol? Harusnya ini masuk discovery channel, atau guinness book of world record.

Lebih lucu lagi, mereka berdua punya adik, namanya Enita Agustri, lahir tahun 1972. Maka secara resmi dalam dokumen, Eka – si kembaran Eva – adalah adik dari adiknya sendiri. Teori relativitas Albert Einstein rasanya tak sanggup menjelaskan hal ini. Bahkan Stephen Hawking pun mungkin angkat tangan, “Indonesia is something else.”

Jadi, kalau nanti ada anak muda ditanya, “Apakah kamu mau jadi PNS?” Jawabannya bukan lagi, “Saya siap mengabdi.” Tapi, “Saya siap kerasukan!”

Ironisnya, masyarakat justru disuruh percaya bahwa perubahan data itu tidak ada hubungannya dengan CPNS. Tetapi alasannya, kok mirip dengan Mulyono yang sering sakit-sakitan lalu berganti nama menjadi Joko Widodo. Sedangkan Eka Afriana memilih ganti tahun kelahiran karena alasan sering kesurupan.

Kalau alasan seperti ini dibiarkan, besok-besok banyak anak muda bakal datang ke Dukcapil dengan baju serba putih, mata melotot, dan suara berat, “Pak, saya mau ganti tanggal lahir. Ini bukan saya yang minta. Ini arwah kakek buyut saya dari kerajaan Tulangbawang.”

Dan yang paling menyakitkan bukan soal kembaran beda tahun atau adik yang lebih tua, tapi fakta bahwa negara ini terus membiarkan akal-akalan semacam ini merajalela tanpa sanksi. Bahkan setelah bukti mencolok, pengakuan terang-terangan, dan logika yang jungkir balik, semuanya masih bisa dilipstik dengan senyum pejabat dan kata-kata motivasional.

Lebih dari itu, persoalan ini menunjukkan bahwa sistem seleksi ASN yang seharusnya berbasis merit berazaskan integritas, dan transparansi, bisa dibobol hanya dengan akta palsu dan dalih sakit metafisik.

Alih-alih mendapat punishment, sang kepala dinas malah duduk manis memimpin dunia pendidikan, di mana murid-murid diajarkan pentingnya kejujuran, tanggung jawab, dan bagaimana mendapatkan dokumen persyaratan dengan cara terhormat.

Sepertinya, di republik ini, yang waras makin perlu banyak istighfar. Sementara yang lihai memalsukan data, malah jadi panutan dan diberi jabatan. Bahkan bila perlu diberi perlindungan atau minimal disiapkan ajudan. (*)