Rosadi Jamani
(Ketua Satupena Kalbar)
LANGIT sepak bola Indonesia muram hari ini. Mendung menggantung, seperti ingin menangis, tetapi tertahan. Shin Tae-Yong (STY), nama yang dulu dielu-elukan bak juru selamat, kini hanya sebaris kenangan dalam babak sejarah sepak bola negeri ini.
Ia datang membawa harapan, pergi membawa luka. “Coach STY sudah dipecat,” begitu berita pagi ini menyentak jiwa. Sederhana, tanpa basa-basi, seakan melupakan peluh dan doa yang ia persembahkan selama hampir lima tahun terakhir.
PSSI, dengan wajah tanpa dosa, mengumumkan pemutusan hubungan kerja itu seperti melepas karyawan kontrak yang habis masa baktinya. Tidak ada peluk perpisahan. Hanya segenggam pesan, “Semoga Timnas lolos Piala Dunia.” Ah, indah sekali harapan itu. Seindah fatamorgana di gurun yang gersang.
STY mungkin bukan dewa. Ia tidak memberi Indonesia gelar juara. Tidak ada trofi yang ia bawa pulang ke kantor PSSI. Tidak ada parade kemenangan di jalan-jalan ibu kota.
Tapi, siapa bisa melupakan sihirnya? Ia yang membawa Timnas junior melangkah gagah ke semifinal Piala Asia U-23. Ia yang, untuk pertama kalinya, menempatkan Indonesia di babak 16 besar Piala Asia. Bahkan, dengan ajaib, ia membimbing Skuad Garuda menaklukkan Arab Saudi 2-0 dalam kualifikasi Piala Dunia 2026.
Sayangnya, kemenangan tidak cukup. Tidak pernah cukup. PSSI, organisasi yang katanya ingin membangun sepak bola negeri, tak ubahnya orkestra sumbang. Mereka mendamba hasil instan, seperti mi instan yang bisa dinikmati dalam tiga menit. STY? Terlalu lama. Lima tahun tanpa trofi, katanya.
Lalu, apakah trofi lebih berharga dari proses? Dari kemajuan? Mungkin bagi PSSI, ya. Mereka kini menginginkan pelatih Eropa. Rumornya, sudah ada nama besar di balik layar. Ah, barangkali sepak bola kita butuh aksen Italia atau Prancis agar terlihat mewah di mata dunia.
“Semoga Timnas lolos Piala Dunia,” begitu pesan terakhir STY. Ringan, namun menusuk. Ia tahu, tim ini punya potensi. Ia tahu, anak-anak asuhnya mampu.
Tapi ia juga tahu, mimpi itu tidak mudah. Sekarang, ia hanya bisa mengamati dari jauh, mungkin dengan secangkir kopi hangat, di sudut tenang rumahnya di Korea Selatan.
STY adalah cermin. Ia menunjukkan bahwa perubahan butuh waktu, bahwa kesabaran adalah kunci. Tapi cermin itu kini pecah, menyisakan serpihan yang berserakan di lantai ambisi PSSI.
Apakah pelatih baru nanti bisa melanjutkan apa yang telah dimulai? Ataukah kita kembali ke titik nol, memulai lagi dari awal, seperti yang selalu terjadi?
Langit tetap muram. Di sana, di antara awan yang bergelayut, terlukis wajah STY. Ia tersenyum, tapi matanya basah.
Selamat tinggal, coach STY. Di negeri ini, kenangan akanmu adalah puisi tanpa rima. Indah, namun penuh luka.
#camanewak