Rosadi Jamani
(Ketua Satupena Kalbar)
MUNGKIN tidak hanya saya kali, kalau lihat Donald Trump itu bawaannya geram, gemes, jengkel. Ingin mau mencubit pipinya. Sambil menikmati kopi di meja dapur, yok kita bahas manusia yang setiap ucapannya, dunia bergetar.
Donald Trump belum juga resmi kembali jadi presiden, tapi dunia sudah kebakaran jenggot. Pernyataannya ibarat kembang api yang meledak di ruang rapat PBB, meriah, berisik, dan bikin panik. Dia bicara soal Gaza, Terusan Panama, Kanada, bahkan Greenland. Untung saja Indonesia belum masuk radar. Kalau disenggol sedikit saja, jangan harap dia bisa tidur tenang.
Bayangkan kalau Trump tiba-tiba bilang, “Indonesia seharusnya jadi bagian dari Samudra Pasifik yang saya kelola secara pribadi.” Reaksinya? Tukang bakso langsung menggulung gerobaknya, naik pesawat ke New York, dan bikin unjuk rasa di depan Trump Tower. Satpam Istana Merdeka ikut menulis surat terbuka berjudul “Ini Nusantara, Bung!”. Bahkan ibu-ibu arisan bisa mendadak jadi ahli geopolitik, sibuk debat di WhatsApp tentang “kedaultan maritim vs gengsi nasional.”
Tapi mari kita kembali ke panggung absurditas internasional. Trump bilang, kalau sandera Israel di Gaza tidak dibebaskan, neraka akan pecah. Sebentar. Apa dia tahu? Timur Tengah itu neraka versi beta. Trump mau rilis neraka 2.0, lengkap dengan mode multiplayer dan DLC konflik baru.
Walau slengekan, ucapan Trump itu memang hebat. Sekarang, terjadi gencatan senjata di Gaza dengan Israel. Gaza tak jadi “neraka” eh malah Los Angeles yang diserang api.
Berikutnya, soak Terusan Panama juga tak luput dari wacananya. Trump menganggap AS seharusnya tidak pernah menyerahkan terusan itu ke Panama. Dalam kepala Trump, terusan itu mungkin properti pribadi yang dilelang saat dia sedang sibuk main golf. Dunia sudah maju, tapi Trump masih keukeuh hidup di era peta dunia yang dicetak hitam putih, lengkap dengan catatan kaki “Milik Saya.” Trump ngotot benar terusan itu diambil alih. Selidik punya selidik, ada China di sana. Ntah kenapa si rambut kuning ini phobia sekali dengan China. Mungkin selalu kalah dalam perang dagang.
Lalu Kanada. Dia bilang, “Kenapa Kanada tidak jadi negara bagian ke-51 saja?” Seolah Kanada adalah tetangga sebelah yang rumputnya terlalu hijau. Orang Kanada yang terkenal kalem mungkin akan mendadak belajar karate. Justin Trudeau, dengan senyum khasnya, mungkin akan mengirim surat cinta diplomatik berisi satu kata, “No.”
Lalu, Greenland. Pulau es yang damai itu. Trump mau membelinya. Untuk apa? Untuk keamanan ekonomi, katanya. Padahal, Greenland hanya punya es, beruang kutub, dan pemandangan yang cocok untuk meditasi. Tapi di kepala Trump, itu peluang bisnis. Hotel Trump di Kutub Utara? Tentu saja. Dengan sauna es dan minuman dari air glacier.
Donald Trump adalah fenomena. Pernyataannya seperti adegan film blockbuster yang meledak-ledak, penuh efek spesial, tapi tanpa plot yang jelas. Dunia, dengan segala kekacauan yang ada, kini hanya bisa pasrah menonton. Tapi satu hal yang pasti, selama Indonesia tidak masuk daftar “wilayah sasaran Trump,” kita bisa duduk santai, makan bakso, dan tertawa bersama. Sebab kalau sampai Indonesia disenggol? Jangan harap Trump bisa lupa nama kita.
#camanewak