Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Falsafah Minangkabau: Multidisiplin Ilmu, Demokrasi Kekitaan, dan Harmoni Alam

February 22, 2025 12:00
IMG-20250222-WA0075

Bagindo Muhammad Ishak Fahmi

Kaba “Catuih Ambuih”

HATIPENA.COM – Ketika Johann Wolfgang von Goethe menyatakan bahwa pemahaman terhadap dunia tidak boleh terbatas pada satu disiplin ilmu saja, melainkan harus mencakup sains, seni, dan filsafat, pemikiran ini sejalan dengan falsafah hidup masyarakat Minangkabau. Dalam budaya Minang, konsep “alam takambang jadi guru” telah lama menjadi pegangan hidup, menegaskan bahwa manusia harus belajar dari berbagai aspek kehidupan, baik dari alam, pengalaman, maupun pemikiran lintas disiplin.

Orang Minang memegang teguh prinsip “dima bumi dipijak, disinan langik dijunjuang, dima aia disauok, disinan rantiang dipatah, adaik diisi, limbago dituang.” Ungkapan ini mencerminkan sikap adaptif dan dinamis masyarakat Minangkabau, yang terus berkembang, berproses, serta mengambil ilmu dari berbagai sumber untuk dikembalikan demi kemaslahatan umat. Dalam konteks ini, Minangkabau bukan sekadar identitas etnis, tetapi sebuah ideologi yang dapat diterapkan di mana saja, dengan prinsip-prinsip yang mencerminkan keseimbangan antara tradisi, intelektualitas, dan demokrasi.

Konsep “tali tigo sapilin” dalam sistem pemerintahan Minang juga memperlihatkan keterpaduan antara berbagai elemen dalam masyarakat. Pemikiran “katumangguangan” yang berjenjang naik, bertangga turun dipadukan dengan filosofi “parpatiah” yang mengedepankan kesetaraan: “duduak samo randah, tagak samo tinggi.” Sistem ini mencerminkan model pemerintahan berbasis musyawarah dan gotong royong, yang dalam konteks modern dapat diartikan sebagai demokrasi berbasis kolektivitas, atau “Demokrasi Kekitaan.”

Sejarah telah mencatat bahwa Minangkabau tidak hanya berkontribusi dalam bidang budaya, tetapi juga dalam gagasan dan sistem pemerintahan di berbagai wilayah di Asia Tenggara. Banyak negara yang menerapkan prinsip-prinsip Minang dalam struktur sosial dan politik mereka. Sebagai contoh, konsep “tali tigo sapilin” dapat ditemukan dalam sistem kenegaraan yang menyeimbangkan eksekutif dan legislatif dalam menjalankan roda pemerintahan.

Dalam perjalanan sejarah Indonesia, pemikiran Minangkabau turut mewarnai perjuangan kemerdekaan dan pembentukan negara. Tokoh-tokoh besar seperti Tan Malaka, Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Muhammad Yamin, dan Agus Salim adalah contoh nyata bagaimana ideologi Minang telah memberikan kontribusi besar dalam membangun dasar-dasar kebangsaan Indonesia. Tan Malaka, misalnya, dengan pemikirannya tentang republik, menggali ide dari nilai-nilai keminangkabauan yang egaliter dan progresif. Bung Hatta, sebagai salah satu bapak pendiri bangsa, membawa prinsip musyawarah mufakat yang sejalan dengan filosofi Minang ke dalam sistem pemerintahan Indonesia.

Agus Salim, dengan kecerdasan diplomatiknya, merepresentasikan nilai “alim ulama” dalam sistem Minangkabau yang mengutamakan keseimbangan antara ilmu pengetahuan dan moralitas. Sutan Syahrir, dengan pemikirannya yang modern dan visioner, mencontohkan bagaimana nilai-nilai Minang dapat diaplikasikan dalam strategi politik yang adaptif dan berorientasi pada rakyat. Sementara itu, Muhammad Yamin menjadi tokoh penting dalam merumuskan identitas nasional yang menghargai kebinekaan, sebuah prinsip yang juga tercermin dalam budaya Minang yang inklusif dan terbuka terhadap perkembangan zaman.

Falsafah Minangkabau bukan hanya warisan budaya, tetapi juga sebuah ideologi yang mampu beradaptasi dan relevan dalam berbagai konteks zaman. Minangkabau bukan hanya tentang suku, tetapi juga tentang sistem pemikiran yang mengedepankan pendidikan, kebijaksanaan, keseimbangan sosial, dan demokrasi berbasis kolektivitas. Prinsip “alam takambang jadi guru” mengajarkan bahwa manusia harus terus belajar dari lingkungan sekitarnya dan mengaplikasikan ilmu tersebut demi kebaikan bersama.

Prof. Taufik Abdullah, seorang sejarawan Indonesia, menyatakan bahwa sistem pemerintahan dan sosial Minangkabau mencerminkan prinsip demokrasi deliberatif yang memungkinkan masyarakatnya berkembang dengan dinamis. Sementara itu, pemikir seperti Mochtar Naim menegaskan bahwa perantauan Minangkabau bukan hanya pergerakan fisik, tetapi juga penyebaran ideologi yang mengedepankan kemandirian, musyawarah, dan gotong royong dalam membangun masyarakat yang berkeadilan.

Dengan demikian, pemikiran Minangkabau dan konsep “alam takambang jadi guru” memiliki relevansi yang kuat dengan gagasan Ghothe tentang pemahaman dunia yang tidak boleh terbatas pada satu disiplin ilmu. Ini juga sejalan dengan prinsip memimesis yang dikembangkan oleh Aristoteles dan Plato, yang menekankan bahwa manusia belajar melalui peniruan terhadap alam dan kehidupan sekitar.
Keduanya menggarisbawahi bahwa pembelajaran manusia selalu melibatkan observasi dan interpretasi terhadap lingkungan, sebagaimana yang menjadi inti dalam filosofi Minangkabau.(*)

Padang, 22 Februari 2025