Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025

Fatwa Darul Ifta’ Mesir : Dam Haji Tak Harus di Mekkah

May 23, 2025 08:58
IMG-20250523-WA0030

Catatan Cak AT

HATIPENA.COM – Satu hal yang tak pernah berubah dari umat Islam adalah kemampuan mereka untuk berselisih pendapat, bahkan soal hal yang berdarah-darah sekalipun —seperti lokasi penyembelihan hewan dam jamaah haji. Iya, itu lho, hewan yang jadi tumbal karena jamaah haji telat sadar bahwa larangan ihram bukan pajangan.

Para ulama mazhab Syafi’i dan Hanbali, dengan sangat warak dan penuh kehati-hatian, tetap keukeuh bahwa hewan dam—baik karena melanggar larangan ihram, meninggalkan kewajiban, atau karena ‘masalah teknis’ lain—harus disembelih di tanah haram.

Kenapa? Karena mereka meyakini bahwa maksud dari “baligha al-ka’bah” dan “mahilluha ila al-bayt al-‘atiq” adalah isyarat ilahi bahwa hewan tersebut harus sampai di sekitaran Ka’bah, bukan di depan rumah RT atau lapangan bola desa.

Argumen mereka masuk akal. Selain karena teks-teks literal mendukung pendapat itu, mereka juga berpandangan bahwa ini soal kehormatan Baitullah dan kepedulian terhadap para mustahiqqin (penerima manfaat) di tanah suci.

Makanya, buat mereka, yang tidak menyembelih dam di Mekkah itu bukan cuma melanggar fiqih, tapi juga kehilangan romantika spiritual beraroma darah.

Namun, datanglah Darul Ifta’ Mesir, lembaga fatwa kenamaan yang dikenal sebagai rumah tafsir syariah yang ramah—bukan yang gampang marah.

Dalam fatwanya nomor 7660 tertanggal 14 Januari 2023, Darul Ifta’ memutuskan secara lugas dan elegan: “Boleh menyembelih hewan dam di luar Mekkah, bahkan di kampung halaman sendiri.” Link fatwa selengkapnya tersedia di sini: https://s.id/DamHaji

Fatwa mereka tidak pakai embel-embel “kalau begini, kalau begitu”—langsung mubah secara mutlak. Tentu saja bukan karena mereka kehabisan tiket pesawat ke Saudi atau ingin menyejahterakan jagal lokal, tapi karena argumentasi yang cukup solid dan tidak kalah ‘berdarah’.

Mari kita kulik soal fikih yang jangan kaku, sebab ada mazhab lain juga.

Fatwa ulama Mesir ini berangkat dari pandangan sebagian ulama mazhab Maliki dan sebagian Hanafi yang sudah lama membuka ruang untuk menyembelih dam di luar haram. Bukan karena mereka liberal, tapi karena memahami bahwa hukum syariah tak seharusnya menjadi beban logistik.

Buat apa memaksakan penyembelihan di tempat tertentu, jika tujuannya—yakni memberi makan fakir miskin dan menebus kesalahan—bisa tercapai di mana saja?

Dan jangan salah, Darul Ifta’ tidak sedang membuat bid’ah kontemporer. Mereka merujuk pada pemahaman Sayidina Ali ibn Abi Thalib, yang memaknai “nusuk” dan “hadyu” secara lebih fleksibel, tergantung konteks dan tujuannya. Yang penting: ada tebusan, ada sembelihan, ada manfaat bagi orang-orang yang membutuhkan.

Maqashid syariah —tujuan agung dari hukum Islam— menjadi dasar yang sangat rasional dan humanis dari fatwa ini. Bayangkan, jika semua dam harus disembelih di Mekkah, apa jadinya? Rumah potong penuh, logistik tersendat, daging terbuang, dan tentu saja, kaum miskin di luar Mekkah gigit jari.

Padahal tujuan utama dam adalah tebusan atas pelanggaran, bukan ekskursi spiritual berdaging. Kalau sudah tidak bisa memberikan manfaat sosial, bukankah itu artinya tujuan hukum malah meleset? Di sinilah fatwa Darul Ifta’ menjadi oase rasionalitas dalam padang gurun formalistik yang kering empati.

Mereka yang menolak fatwa ini dengan semangat “kami hanya ikut mazhab”, perlu diajak ngopi sambil diskusi: sejak kapan fiqih itu monolitik dan statis? Bukankah para ulama dahulu sendiri berbeda pendapat justru karena menghargai kompleksitas realitas?

Kita bisa terus memegang teguh pendapat Syafi’i dan Hanbali, tapi menolak keberlakuan pendapat lain yang lebih kontekstual bukanlah ciri orang yang arif dalam keberagamaan. Ibadah bukan soal lokasi semata, tapi tentang substansi. Dan kalau dagingnya sampai ke orang lapar di kampung, kenapa harus kita ributkan tempat sembelihnya?

Fatwa Darul Ifta’ bukan ajakan untuk menyepelekan hukum, tapi justru penegasan bahwa hukum Islam hidup bersama realitas umatnya. Penyembelihan dam tidak harus menjadi urusan maskapai penerbangan dan kurban ekspedisi lintas benua. Kalau bisa lebih bermanfaat, lebih murah, dan lebih tepat sasaran, kenapa harus mempersulit?

Jadi, mari kita berislam dengan kepala dingin dan hati hangat. Kalau dam-nya bisa membantu tetangga lapar, kenapa harus dikirim ke tempat yang bahkan orangnya sudah kebanyakan daging?

Islam itu rahmat. Jangan bikin darahnya mubazir.

Untuk otentisitas, saya kutipkan bunyi fatwa Darul Ifta’ Mesir itu berikut terjemahannya:

المختار للفتوى في حكم ذبح دم الفدية خارج الحرم

الأخذ بجواز ذبح الفدية خارج الحرم هو الأوفق في زماننا لمقاصد الدين، والأرفق بحاجة المساكين على العموم دون تخصيصِ مكانٍ أو زمانٍ؛ فإنَّ المرادَ من هذه الدماء الصدقةُ وإطعامُ لحومها للمحتاجين، وإشباع الجائعين، وجبر الفقراء والمعوزين، وإلى هذا المعنى يشير قول الله تعالى: ﴿فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكرُونَ ۝ لَنْ يَنَالَ اللهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ﴾ [الحج: 36-37].

قال الإمام ابن عبد البر المالكي في “التمهيد” (2/ 240-241) في بيان أدلة المالكية: [والذبح هاهنا عند مالكٍ: نُسُكٌ، وليس بهدي.

قال: والنسك يكون حيث شاء، والهدي لا يكون إلا بمكة، وحجته في أن النسك يكون بغير مكة: حديثه عن يحيى بن سعيد، عن يعقوب بن خالد المخزومي، عن أبي أسماء مولى عبد الله بن جعفر، أنه أخبره: أنه كان مع عبد الله بن جعفر رضي الله عنهما، وخرج معه من المدينة، فمرُّوا على حسين بن عليٍّ رضي الله عنهما وهو مريض بالسقيا، فأقام عليه عبد الله بن جعفر، حتى إذا خاف الموت خرج وبعث إلى عليِّ بن أبي طالب وأسماء بنت عميس وهما بالمدينة، فَقَدِمَا عليه، ثم إنَّ حُسَيْنًا أشار إلى رأسه، فأمر علي بن أبي طالب برأسه فحلق، ثم نسك عنه بالسقيا فنحر عنه بعيرًا.

قال مالك: قال يحيى بن سعيد: وكان حسينٌ خرج مع عثمان في سفره إلى مكة. فهذا واضح في أن الذبح في فدية الأذى جائز بغير مكة، وجائز عند مالك في الهدي إذا نحر في الحرم أن يعطاه غير أهل الحرم؛ لأن البُغْيَةَ فيه إطعام مساكين المسلمين، قال: ولما جاز الصوم أن يؤتى به في غير الحرم؛ جاز إطعام غير أهل الحرم..

ذكر إسماعيل القاضي حديثَ عليٍّ حين حلق رأس حسين ابنه بالسقيا ونسك عنه في موضعه مِن حديث مالك وغيره عن يحيى بن سعيد ثم قال: “هذا أَبْيَنُ ما جاء في هذا الباب وأَصَحُّهُ، وفيه جواز الذبح في فدية الأذى بغير مكة”.

قال أبو عمر: الحجة في ذلك قول الله عزَّ وجلَّ: ﴿وَلَا تَحْلِقُوا رُؤُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ﴾، ثم قال: ﴿فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ﴾، ولم يقل في موضعٍ دون موضع؛ فالظاهر: أنه حيثما فعل؛ أجزأ، وقد سَمَّى رسولُ الله صلى الله عليه وآله وسلم ما يُذبح في فدية الأذى نُسُكًا ولم يُسَمِّهِ هديًا، فلا يلزمنا أن نرده قياسًا على الهدي، ولا أن نعتبره بالهدي مع ما جاء في ذلك عن عليِّ رضي الله عنه، ومع استعمال ظاهر الحديث في ذلك، والله أعلم] اهـ.

وقرره الإمام القرطبي في “الجامع لأحكام القرآن” (2/ 385-386) وزاد عليه في الأدلة؛ فقال: [وأيضًا: فإن النبي صلى الله عليه وآله وسلم لَمَّا أمر كعبًا رضي الله عنه بالفدية ما كان في الحرم؛ فصَحَّ أنَّ ذلك كلَّه يكون خارج الحرم] اهـ.

الخلاصة

بناءً على ذلك وفي واقعة السؤال: فإذا وجب على الشخص المذكور دمُ الفدية بسبب ارتكاب محظورٍ من محظورات الإحرام، أو ترك واجب من واجبات الحج؛ فإنه يجوز شرعًا ذبحه خارج الحرم؛ سواء في بلده أو غيره.

والله سبحانه وتعالى أعلم.

Pilihan Pendapat Fatwa tentang Hukum Menyembelih Dam Fidyah di Luar Tanah Haram

Pendapat yang dipilih dalam fatwa adalah bahwa membolehkan penyembelihan fidyah di luar Tanah Haram lebih sesuai pada zaman kita sekarang demi menjaga tujuan-tujuan agama, serta lebih bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan kaum miskin secara umum, tanpa mengikatkannya pada tempat atau waktu tertentu.

Sebab, tujuan dari darah-darah ini (yakni hewan yang disembelih) adalah untuk bersedekah dan memberi makan dagingnya kepada orang-orang yang membutuhkan, mengenyangkan mereka yang lapar, serta membantu fakir miskin dan orang-orang yang kekurangan.

Hal ini sebagaimana isyarat dari firman Allah Ta‘ala:

“Maka makanlah sebagian darinya dan berikanlah makan kepada orang yang rela dengan apa yang ada padanya dan kepada orang yang meminta. Demikianlah Kami tundukkan hewan-hewan itu untukmu agar kamu bersyukur. Daging-daging dan darah-darah hewan kurban itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaanmu.”
(QS. al-Hajj: 36–37)

Imam Ibnu Abdil Barr al-Maliki dalam at-Tamhîd (2/240–241) menjelaskan dalil-dalil mazhab Maliki:
Penyembelihan fidyah dalam hal ini menurut Imam Malik adalah nusk (ibadah kurban), bukan hady (kurban yang wajib untuk haji). Nusk boleh dilakukan di mana saja, sedangkan hady hanya boleh di Mekkah.

Ia juga menjelaskan hadis dari Yaha bin Sa’id, dari Ya’qub bin Khalid al-Makhzumi, dari Abu Asma’ maula ‘Abdullah bin Ja’far, yang menceritakan bahwa ia bersama ‘Abdullah bin Ja’far—radhiyallahu ‘anhuma—keluar dari Madinah dan melewati al-Suqya, di mana mereka menjumpai Husain bin Ali sedang sakit. Ketika Husain mengisyaratkan kepalanya (agar dicukur), maka ‘Ali bin Abi Thalib mencukur rambutnya dan menyembelih unta sebagai nusk di tempat itu. Malik berkata: Husain keluar bersama Utsman dalam perjalanan menuju Mekkah.

Ini menjadi bukti bahwa penyembelihan fidyah karena gangguan diperbolehkan di luar Mekkah.

Imam Malik juga membolehkan daging hady yang disembelih di Tanah Haram diberikan kepada orang di luar Tanah Haram karena tujuannya adalah memberi makan orang-orang miskin. Dan sebagaimana puasa bisa dilakukan di luar Tanah Haram, maka demikian juga halnya dengan memberi makan.

Qadhi Isma’il juga meriwayatkan hadis Ali tentang pencukuran rambut Husain dan penyembelihan nusk di tempat itu, dan menyatakan: “Ini adalah dalil paling jelas dan paling sahih dalam bab ini, menunjukkan bolehnya menyembelih fidyah karena gangguan di luar Mekkah.”

Abu ‘Umar berkata: dalilnya adalah firman Allah Azza wa Jalla:

“Dan jangan kamu mencukur kepalamu sampai hewan hady sampai ke tempat penyembelihannya.”
kemudian difirmankan:
“Barang siapa di antara kamu yang sakit atau mengalami gangguan di kepalanya, maka wajib membayar fidyah: dengan puasa, sedekah, atau menyembelih (hewan).”
(QS. al-Baqarah: 196)

Allah tidak menyebutkan tempat tertentu, maka tampak jelas bahwa penyembelihan itu sah dilakukan di mana saja. Nabi Muhammad SAW sendiri menyebut penyembelihan fidyah ini sebagai nusk, bukan hady. Maka, tidak bisa disamakan hukumnya dengan hady.

Imam al-Qurthubi dalam al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’ân (2/385–386) menetapkan hal ini dan menambahkan dalil lain: Nabi SAW saat memerintahkan Ka‘b radhiyallahu ‘anhu untuk membayar fidyah, itu dilakukan di luar Tanah Haram. Maka sah-sah saja fidyah dilakukan di luar Tanah Haram.

Kesimpulan

Berdasarkan hal tersebut dan terkait dengan kasus yang ditanyakan:
Jika seseorang diwajibkan menyembelih dam fidyah karena melakukan pelanggaran ihram atau meninggalkan salah satu kewajiban haji, maka diperbolehkan secara syar’i untuk menyembelihnya di luar Tanah Haram—baik di negerinya sendiri atau di tempat lain.

Dan Allah Subhanahu wa Ta‘ala Maha Mengetahui. (*)

Cak AT – Ahmadie Thaha
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 23/5/2025