Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Filosofi Kekalahan ala Indra Syafri

February 17, 2025 10:31
IMG-20250216-WA0164

Ilustrasi : Wak Rojam
Penulis : Rosadi Jamani

HATIPENA.COM – Sepak bola adalah seni. Seni adalah penderitaan. Penderitaan adalah bagian dari sepak bola Indonesia. Timnas U-20 baru saja memberikan kita sebuah mahakarya, dua kali kalah berturut-turut. Iran mencabik-cabik 0-3. Uzbekistan menyelesaikan sisa-sisa 1-3. Di tengah reruntuhan asa, seorang filsuf muncul.

Namanya Indra Sjafri. Jangan salah, dia bukan sekadar pelatih. Dia orator. Penyair. Penjaga tradisi lisan sepak bola kita. Setiap kekalahan melahirkan kata-kata mutiara. Kata-kata itu lebih abadi dari sekadar skor di papan.

Sebelum laga lawan Iran, Indra meminta doa. Karena Timnas membawa harga diri bangsa. Luar biasa. Memang benar, di lapangan, anak-anak muda kita tidak hanya membawa bola, tapi juga martabat 270 juta orang. Sayang, bola sering direbut. Harga diri itu ikut terbawa. Ke gawang sendiri.

Setelah dibantai Iran, Indra mengakui, kita lemah di duel bola atas. Sederhana. Jujur. Toh, kita memang bukan bangsa yang tinggi-tinggi amat. Tapi siapa peduli? Kalah tinggi bukan masalah, asal punya solusi. Sayang, solusinya nihil. Bola atas tetap jadi hantu. Sejak era bola plastik di kampung sampai stadion megah, momok itu tak pernah pergi.

Patrick Kluivert datang sebagai juru selamat. Tapi Indra berpesan, pemain Indonesia harus main dengan cara Indonesia. Menarik. Filosofis. Penuh makna. Walau belum jelas apa yang dimaksud dengan “cara Indonesia.” Apakah itu tiki-taka? Kick and rush? Atau pola menyerang tanpa gol? Yang jelas, Kluivert harus belajar. Bukan soal taktik. Tapi soal bagaimana menciptakan kata-kata indah di tengah skor yang pedih.

Begitulah sepak bola kita. Penuh nilai. Kaya filosofi. Kalau menang, itu bonus. Kalau kalah? Ah, itu biasa. Yang penting, jangan kehabisan kata-kata.(*)

#camanewak
*) Ketua Satupena Kalbar