Oleh Gus Muhammad Arief
“KOPI PAHIT tidak pernah memaksa lidah untuk mencintainya, tetapi mengajarkan hati untuk menerima apa adanya“
Ketika senja hadir, dunia seolah beranjak ke dalam keheningan yang penuh makna. Cahaya keemasan yang memudar menyadarkan kita bahwa waktu adalah sesuatu yang berjalan pasti.
Seperti secangkir kopi pahit di tangan, senja mengajarkan kita tentang realitas yang sering tak manis, tetapi sarat makna.
Kopi pahit, dalam kesederhanaannya, menyimpan filosofi hidup. Ia tidak menawarkan gula untuk menutupi rasa asli, tetapi menyuguhkan apa adanya. Begitu pula hidup, tidak selamanya memberikan manisnya kebahagiaan.
Ada masa di mana pahit menjadi rasa utama ujian, kesulitan, atau kehilangan. Namun, justru dari kepahitan itu, kita diajak untuk merenungi makna yang lebih dalam: syukur atas yang sedikit, sabar atas yang hilang, dan ikhlas menerima takdir Allah.
Dalam Islam, kepahitan adalah bentuk kasih sayang Allah yang terselubung. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Sungguh menakjubkan urusan orang mukmin, seluruh urusannya baik baginya. Jika ia mendapatkan kesenangan, ia bersyukur, maka itu baik baginya. Jika ia ditimpa kesulitan, ia bersabar, maka itu pun baik baginya.” (HR. Muslim).
Kopi pahit juga mengajarkan kita tentang kejujuran. Hidup yang dipermanis oleh kepalsuan duniawi mungkin terlihat indah, tetapi seringkali menipu jiwa.
Sebaliknya, menerima pahitnya kenyataan dengan lapang dada adalah bentuk keberanian. Seperti senja yang menerima perginya matahari tanpa mengeluh, manusia juga diajak untuk menerima takdir tanpa kehilangan keindahan iman.
Lalu, bagaimana kita memandang hidup ini? Apakah kita akan terus mencari manisnya dunia tanpa pernah siap menerima pahitnya ujian?
Ataukah kita mau belajar dari kopi pahit yang dengan apa adanya, tetap bisa dinikmati di senja hari.
Jika kita selalu ingin hidup manis seperti gula, tidakkah kita takut bahwa semut dunia akan segera merubung kita?