Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Filsafat Amorfati Abelard

April 1, 2025 09:37
IMG-20250401-WA0029

Oleh ReO Fiksiwan

HATIPENA.COM – “Cinta sejati tidak memandang keuntungan atau kerugian, tidak memandang kebahagiaan atau kesengsaraan, tetapi hanya memandang kebenaran dan keindahan cinta itu sendiri. Karena kita tak mudah mengharapkan kejahatan dari orang yang paling kita cintai.“ — Peter Abelard (1079-1142), Historia Calamitatum (Sejarah Kemalangan).

Pada abad kedua belas, seorang muda dengan jubah skolar dan rambut gondrong keluar dari asramanya. Ia diikuti teman-teman lainnya. Sebagian lagi hanya melongok dari jendela-jendela sepanjang asrama calon santo.

Di sebuah taman luas, lelaki gondrong itu mulai berbicara. Ia mengritik ajaran guru-guru dari era skolastik. Sebuah ajaran yang menjauhkan relasi intim antara tiga substansi: Tuhan (Deus), alam (kosmos) dan manusia(homo).

Tak dinanya, debat dan argumen — yang ia pelajari dari “Rethorica” Aristoles itu — membuat seluruh penghuni asmara yang memanfaat ruang publik (taman) sebagai tempat untuk belajar dan berdebat segala hal, dibikin riuh terpesona (fascinosum) dan takjub (tremendum).

Sistem belajar di luar ruang kelas ini kelak dikenal sebagai “scolarum”, cikal-bakal kata “school”(Inggris, Belanda), “Schule” (Jerman) dan sekolah (Indonesia).

Kemudian, dipakai sebagai sistem “doxa” (δόξα) dalam filsafat pendidikan dan pengetahuan oleh pedagog kaum tertindas, Paulo Freire (1921-1997).

Siapa pemuda gondrong itu? Tak lain Peter Abelard (1079-1142). Teolog dan filsuf Perancis (Nannte) dan menimba ilmunya di universitas tertua Bologna Cheko Praha.

Ia dikenal dengan karya filsafat, di antaranya: Logica nostrorum petitioni sociorum (Logika sebagai tanggapan atas permintaan rekan-rekan kita) ca. 1124-1125.

Tractatus de intellectibus (Sebuah risalah tentang pengertian) yang ditulis sebelum tahun 1128.

Sic et Non (Ya dan Tidak), suatu daftar kutipan dari otoritas Kristen mengenai pertanyaan-pertanyaan filosofis dan teologis.

Tiap hari minggu (dominggos), Abelard menjadikan scolarum tempat ia merumuskan pikiran-pikirannya (doxa) yang membikin — ponakan Uskup Fluibert setempat — Heloise jatuh hati dan pacaran.

Hubungan terlarang itu, menyebabkan Abelard dikebiri (castratio) dan diasingkan (φυγή) pulang ke kampungnya (Nannte).

Hingga usia tua, Abelard hidup bersama kekasihnya Heloise. Kini, kuburan mereka jadi wisata religius di Perancis selatan.

Ada kutipan surat cinta Abelard pada Heloise, “Aku tidak mencintaimu karena kebahagiaan yang kau berikan kepadaku, tetapi karena aku mencintaimu lebih dari kebahagiaan itu sendiri.”

Pun kutipan dari “Dialogus inter Philosophum Judaeum, et Christianum” (Dialog Antara Filsuf, Yahudi, dan Kristen), „”Cinta sejati adalah cinta yang tidak memandang kepentingan diri sendiri, tetapi hanya memandang kepentingan orang yang dicintai.”

Heloise (1101-1165) pun dalam satu suratnya bertutur:

„Kau tahu, yang terkasih. Seperti yang diketahui seluruh dunia. Betapa aku telah kehilangan dalam dirimu.

Betapa dengan satu palu keberuntungan menyedihkan dan tindakan pengkhianatan yang mencolok itu merampok diriku sendiri darimu; dan betapa kesedihanku atas kehilanganku.

Tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang kurasakan atas caraku kehilanganmu.”

Dan kisah cinta mereka (amor fati) diabadikan dalam film: Stealing Heaven (1988) dengan sutradara, Clive Donner.(*)