Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Gadis Tidak, Janda Pun Kagak

February 1, 2025 06:32
IMG-20250201-WA0008

Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya

HATIPENA.COM – Setelah “Kampung Rusia” ditutup akankah menjadi sawah kembali? Jangan sampai jadi sawah tidak, datangkan dolar juga tidak. Ibarat perkawinan tidak jadi, si gadis kehilangan perawan, statusnya pun tidak jelas; gadis tidak, janda pun kagak.

Di Ubud, di Jalan Sri Wedari yang damai, di antara sawah hijau dan pura-pura tua yang menyimpan mantra-mantra leluhur, berdirilah sebuah paradoks. Sebuah tempat yang konon disebut “Kampung Rusia,” proyek wisata mewah yang eksklusif tumbuh di tanah yang seharusnya tak boleh tersentuh beton.

Lalu, ketika semua sudah berdiri megah—vila-vila, spa, dan bangunan yang mengkilap di bawah matahari tropis—barulah ada yang berteriak, “Ini salah! Ini melanggar aturan! Tutup!”

Dan akhirnya, si bule dari Jerman, yang bertanggung jawab atas pembangunan itu ditetapkan sebagai tersangka.

Pertanyaannya, sebegitu luas lahan itu, dibangun sedemikian megah, pasti tidak semalam dibangun, berhari-hari, berbulan-bulan, melibatkan banyak pekerja, kok bisa tidak ada yang tahu?

Apa tetangga-tetangga yang saban hari lewat pura-pura buta? Apa petani yang dahulu mencangkul di sawah itu tak pernah bertanya? Kadus, kades, camat, bupati, anggota dewan, dinas pariwisata, Satpol PP—ke mana mereka semua?

Apa benar tak ada yang melihat? Atau mereka melihat, tapi memilih tak melihat?

Ini paradoks. Ketika bangunan terbangun, tiba-tiba hukum turun seperti palu godam. Satpol PP datang, pemerintah bersikap tegas, aturan ditegakkan.

Tapi di mana mereka sebelum ini? Kenapa baru sekarang? Kalau hukum memang tajam, kenapa tidak dari awal? Apa tidak kasihan pada pengusaha yang sudah menanam modal begitu besar? Sewa tanah, mendatangkan material, membangun dengan rencana matang—lalu semuanya harus runtuh begitu saja?

Pertanyaan berikutnya: Jika si bule itu akhirnya dinyatakan bersalah, ditahan, dan proyek dihentikan—lahan itu mau jadi apa?

Kembali jadi sawah? Tidak. Jadi vila dan spa? Tidak bisa. Akhirnya? Jangan sampai tidak jadi kawin, perawan hilang, statusnya tidak jelas; gadis tidak, janda pun kagak. “Kampung Rusia” ditutup, kembali jadi lahan sawah tidak, mendatangkan dolar juga tidak. Malah jadi rumah hantu. Tempat jin buang anak.

Dan di situ lah paradoks kita muncul: alasan menegakkan aturan tanpa menyelesaikan masalah, malah membuat masalah baru yang tidak jelas, apa artinya?

Bayangkan, lahan yang dahulu subur kini mati. Tak ada padi yang tumbuh, tak ada turis yang datang. Hanya bangunan terbengkalai, cat yang mengelupas, dan suara angin yang melolong di antara jendela-jendela kosong.

Apa aturan di Indonesia memang bertujuan menciptakan tempat-tempat mati seperti ini?

Atau nanti setelah proses hukum dilaksanakan pembangunan dilanjutkan, apakah demikian, apakah akan membangun di atas kesalahan?

Paradoks ini bukan soal bule yang melanggar aturan, tapi soal sistem yang membiarkan pelanggaran terjadi. Seakan sengaja memberikan peluang membangun ATM di tengah sawah.

Seharusnya, sejak awal, ketika si bule hendak menyewa tanah, ada yang bertanya: “Untuk apa tempat ini?” Jika tidak sesuai dengan peruntukan lahan, jangan disewakan. Jika sudah disewa dan mulai ada pembangunan, cegah sebelum terlambat.

Jangan diam seribu bahasa, lalu setelah semuanya jadi, baru sibuk menghancurkan dan ketika dihancurkan tidak juga kembali menjadi sawah. Di mana hati nurani di tanah Bali yang sangat percaya dengan hukum karmaphala? Jadi sawah tidak, mendatangkan dolar juga tidak. Inikah wajah kelakuan para pejabat kita?

Siapa yang salah di sini? Bukan hanya si bule, tapi juga mereka yang seharusnya mengawasi. Yang mengawasi seharusnya paling depan menjaga tanah ini tetap hijau, tetap Bali, tetap seperti yang diwariskan leluhur.

Apakah kita akan terus membiarkan paradoks ini berulang? Atau kita mau belajar, bahwa aturan bukan hanya untuk menghukum, tapi juga untuk mencegah kehancuran sejak awal?

Denpasar, 1 Februari 2025