Catatan Satire; Rizal Pandiya
Sekretaris Satupena Lampung
HATIPENA.COM – Janji politisi kadang lebih manis dari gombalan gebetan yang ujung-ujungnya ghosting. Tapi tidak ada yang lebih dramatis daripada kisah cinta sepihak rakyat terhadap mobil Esemka—mobil nasional yang lebih sering nongol di pidato daripada di jalan raya.
Adalah Aufaa Luqmana, warga Laweyan, Solo, yang hatinya tersayat bukan karena putus cinta, tapi karena tidak bisa beli mobil Esemka. Ia sudah menabung, sudah survei ke pabrik, sudah ngobrol sama marketing, tapi mobilnya tak kunjung ada. Cinta bertepuk sebelah Esemka, begitu judul novel satirenya.
Bahkan demi cintanya yang tak sampai itu, Mas Aufaa menggugat sang mantan wali kota Solo, yang sekarang jadi mantan presiden.
Biasanya orang menggugat karena disenggol atau korban tabrak lari. Ini Beda. Ia menggugat karena gagal ditabrak mobil Esemka. Tepatnya, mobil yang tak pernah lewat. Bahkan wujudnya pun bagai mantan yang cuma hidup di memori, samar-samar dan penuh janji.
Tapi… tunggu dulu. Kalau dipikir-pikir, kayaknya gugatan ini bukan soal benar-benar mau beli mobil. Bisa jadi ini cuma semacam drama panggung hukum untuk mempermalukan Bapak Presiden ke-7, yang sudah pensiun tapi jejak janjinya masih gentayangan.
Bayangkan saja, sejak masih jadi wali kota Solo, lanjut jadi Gubernur DKI, lalu menjabat presiden selama 10 tahun penuh, dan bahkan sekarang sudah lengser… mobil Esemka tetap konsisten tidak ada. Tidak terlihat di jalan, tidak nongol di showroom, tidak tercium di parkiran mall.
Padahal, Jokowi pernah bilang pesanan sudah 6.000 unit dan harus antre. Bahkan—nah ini yang paling ajaib—katanya ekspor mobil Esemka sejak 17 Desember 2021 sampai 8 Maret 2022 mencapai 24.000 unit. Kita rakyat biasa boleh nggak beli, tapi negara-negara entah di mana itu katanya sudah kebagian duluan.
Luar biasa. Mobil yang tidak bisa dibeli di Boyolali, tapi bisa dikapalkan ribuan kilometer jauhnya. Ini sih mobil Esemka atau mobil Avengers?
Ini semacam kisah sedih anak bangsa yang terjebak dalam preorder abadi. Seperti pesan nasi goreng di warung yang bilang, “sebentar ya, masih digoreng”—lalu setengah jam kemudian, abang gorengannya malah update status lagi liburan ke Bali.
Tuntutan Aufaa sederhana, dua unit mobil Esemka, senilai Rp300 juta. Sebagai kompensasi atas mimpi yang tidak jadi nyata. Tapi kita tahu, tuntutan ini bukan hanya tentang mobil. Ini tentang dendam kolektif bangsa yang sudah puluhan kali melihat Esemka dijadikan bahan kampanye, tapi tak pernah jadi kendaraan.
Kalau gugatan ini dikabulkan, Aufaa bisa jadi pahlawan rakyat. Tapi kalau pun tidak, dia tetap pahlawan satire—karena berhasil mengingatkan publik, bahwa ada satu dari sekian janji kampanye yang sejak awal ternyata hanya cocok dijadikan dongeng.
Di negeri ini, kita terbiasa disuruh menunggu. Tapi menunggu sesuatu yang tak pernah dibuat, itu bukan lagi sabar—itu sih namanya, dibego-begoin.
Kalau dipikir-pikir, kok ya enak banget ya, bikin cerita fiktif soal mobil nasional, membual di depan publik. Lugas, penuh percaya diri, dan tanpa naskah. Kayak orang jual obat palsu di depan puluhan apoteker, tapi sedang memimpin negara.
Apa dia lupa kalau dirinya itu Presiden? Bahwa setiap ucapan, janji—apalagi soal mobil nasional—itu bukan cuma didengar, tapi akan ditagih? Ini bukan janji mau traktir bakso ke teman SMA, ini janji ke 270 juta rakyat, loh. Yang bahkan sampai sekarang, belum pernah satu pun polisi menyetop mobil Esemka saat razia.
Nggak pernah ada pengendara yang ditilang karena mobilnya Esemka. Karena apa? Karena mobilnya… tidak terlihat. Bahkan Google Maps pun mungkin bingung kalau disuruh cari.
Mobil yang konon sudah diekspor 24.000 unit itu, sampai hari ini lebih sulit ditemui daripada mantan yang sudah single parent. Mungkin kita butuh bikin satgas pencari Esemka. Atau paling tidak, buka lowongan untuk “detektif pikap nasional.”
Pada akhirnya, rakyat cuma bisa bertanya, apakah ini memang mobil, atau hanya kendaraan politik? Karena yang jelas, Esemka sudah membawa banyak orang melaju jauh, jalan-jalan menikmati libur panjang Lebaran, dan ikut antrean naik kapal penyeberangan di Merak menuju Lampung, dalam mimpinya. (*)
#makdacokpedom