Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya
HATIPENA.COM – Bude Keliwon.wuku Dungulan, tanggal 23 April, umat Hindu bersiap menyambut Galungan—hari kemenangan Dharma melawan Adharma.
Sepuluh hari setelahnya, Kuningan tiba, melengkapi siklus suci itu dengan penghormatan kepada leluhur yang kembali ke alamnya.
Dulu, di masa kecil, Galungan adalah hari yang ditunggu-tunggu, sebuah perayaan yang bukan sekadar ritual, tetapi juga momentum penuh kebahagiaan bagi umat Hindu, khususnya anak-anak.
Di pekarangan rumah, celengan tanah liat pecah menjadi tanda harapan kecil yang tergenapi. Anak-anak membuka tabungan yang disimpan berbulan-bulan, baik dalam celengan gerabah maupun dalam lubang-lubang di tiang bambu.
Keping-keping logam dan lembaran rupiah dikeluarkan dengan riang, ditukar dengan baju baru, uang saku berlebih untuk tamasya mencari hidangan istimewa.
Galungan juga berarti libur panjang hingga Kuningan, menjadikannya lebih dari sekadar ritual, melainkan sebuah perayaan penuh kebersamaan.
Namun, di tengah roda zaman yang terus bergerak, Galungan kini tak lagi terasa sama.
Paradoks pun muncul—di satu sisi, hari raya ini tetap sakral, namun di sisi lain, ia tak lagi menjadi momen istimewa sebagai hari yang ditunggu-tunggu.
Di masa kini, tak ada lagi celengan tanah liat yang pecah. Anak-anak tak perlu menunggu Galungan untuk mendapatkan baju baru, sebab kapan saja orang tua bisa membelikan.
Hadiah tak lagi spesial di hari raya, sebab dalam keseharian, akses terhadap kemudahan telah melimpah.
Uang tak perlu dikumpulkan dalam bambu, karena sudah tersimpan rapi di rekening yang bisa diakses kapan saja lewat ATM. Begitu gesek, duit keluar.
Di masa lalu, Galungan adalah alasan untuk menikmati lawar dan sate, tapi kini, warung-warung menjualnya setiap hari.
Dulu, manis Galungan berarti tamasya keluarga, kini perjalanan wisata bisa dilakukan kapan saja, kemana saja, tanpa menunggu momentum hari raya.
Bahkan, dalam hiruk-pikuk modernitas, kantor-kantor tetap buka, dan jalanan tetap sibuk dengan rutinitas yang tak mengenal libur.
Jika Galungan kehilangan daya tariknya bagi generasi muda, lalu di mana mereka menemukan pranata yang membuat mereka bangga menjadi Hindu?
Idul Fitri bagi Muslim, Natal dan Tahun Baru bagi Kristiani, Waisak bagi Buddha, serta Imlek bagi Konghucu—semuanya tetap menjadi momen istimewa bagi masing-masing umatnya.
Lalu bagaimana dengan Hindu?
Jika Galungan, hari kemenangan Dharma, tak lagi menumbuhkan rasa kebanggaan dan menjadi hari biasa saja, haruskah kita menunggu Nyepi?
Tapi bukankah Nyepi adalah upawasa, hari hening yang tak dirayakan dengan pesta?
Dunia berubah, masyarakat bergerak dari agraris menuju industri dan pariwisata. Namun, esensi tak boleh pudar.
Perlu sebuah kesadaran kolektif, terutama dari para orang tua, untuk menghidupkan kembali makna Galungan sebagai pranata keagamaan dan kebanggaan identitas.
Mungkin bukan dengan cara yang sama seperti dahulu, tetapi dengan cara yang tetap membangkitkan rasa memiliki, rasa merayakan kemenangan kebaikan atas kejahatan.
Jika tidak, umat Hindu akan terus terjebak dalam paradoks, di mana hari raya kemenangan itu tampak seperti hari biasa, di mana sebuah perayaan suci hanya menjadi bayang-bayang nostalgia yang perlahan memudar. (*)
Denpasar, 24 Maret 2025