Dwi Sutarjantono, Pengamat Gaya Hidup Populer/ Sekretaris Satupena DKI Jakarta
HATIPENA.COM – Beberapa hari terakhir, kabar duka datang silih berganti. Teman, sahabat, bahkan relasi, pergi begitu tiba-tiba. Hampir semuanya berpangkal pada hal yang sama: serangan jantung.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Tentu kita tidak sedang membicarakan takdir, sebab itu wilayah yang berbeda. Namun jika ditilik dari pola hidup kita sehari-hari, ada sesuatu yang kerap luput: stres. Ia hadir seperti bayang-bayang di siang bolong, setia mengikuti ke mana pun kita melangkah, tak pernah benar-benar hilang.
Apa yang salah dari gaya hidup kita?
Kita sering menyangka penyakit jantung hanya datang dari kolesterol, gula darah, atau kurang olahraga. Padahal, ada musuh lain yang tak kalah berbahaya: pikiran yang terus dirundung stres. “Bukan hanya apa yang kita makan yang membunuh kita, tetapi juga apa yang kita pikirkan.” Kalimat itu terdengar sederhana, namun menyimpan kebenaran yang dalam.
Secara medis, stres bukan sekadar beban pikiran. Saat ia datang, tubuh melepaskan hormon adrenalin dan kortisol. Detak jantung berpacu lebih cepat, pembuluh darah menyempit, tekanan darah melonjak. Jika terjadi sekejap, tubuh bisa memulihkan diri. Namun bila berlangsung lama, jantung dipaksa bekerja melampaui batas. Ibarat mesin yang tak pernah berhenti berputar,, lama-lama aus, melebar, lalu rusak. Kondisi inilah yang disebut kardiomegali atau pembesaran jantung.
Bukti ilmiah pun mendukung hal ini. Penelitian dari American Heart Association (2021) menegaskan bahwa stres kronis erat kaitannya dengan peningkatan risiko hipertensi dan penyakit jantung koroner. Sementara studi dalam The Lancet Psychiatry (2017) menemukan, orang dengan tingkat stres tinggi memiliki risiko 29% lebih besar mengalami serangan jantung dibanding mereka yang lebih tenang.
Dampaknya tidak berhenti di sana. Stres yang berlarut-larut dapat menyebabkan: Hipertensi yang merusak pembuluh darah. Gagal jantung, ketika otot jantung tak lagi sanggup menahan beban. Aritmia, gangguan irama jantung yang bisa merenggut nyawa dalam sekejap.
Ironisnya, banyak orang masih menyepelekan stres. Menganggapnya hanya persoalan pikiran, padahal ia adalah api dalam sekam, membakar tubuh pelan-pelan tanpa terasa.
Namun, kabar baiknya: kita bisa menundukkan stres sebelum ia menundukkan kita. Caranya tidak rumit: bernapas dalam-dalam, berjalan santai di bawah langit sore, bercengkerama dengan orang yang kita cintai, tidur cukup, atau sekadar menutup mata sejenak dan bersyukur. Bahkan sebuah studi dari Harvard Medical School (2020) menunjukkan, latihan pernapasan dan meditasi selama 15 menit per hari terbukti menurunkan tekanan darah secara signifikan.
Kunci utamanya ada pada penerimaan hidup. Banyak stres lahir dari penolakan: tidak menerima tubuh kita apa adanya, tidak menerima keadaan rumah tangga, pekerjaan, atau kondisi hidup saat ini. Saat kita belajar menerima, beban pikiran pun perlahan reda. Ini tidak mudah karena siapa pun mengalaminya termasuk saya.
Akhirnya, mari kita ingat: jantung bukanlah mesin tanpa rasa. Ia berdetak sesuai dengan apa yang kita pikirkan dan rasakan. Merawat pikiran sama pentingnya dengan merawat tubuh. Jangan biarkan stres menjadi pembunuh sunyi. Kendalikan ia, sebelum ia merenggut detak terakhir kita. (*)